MAKALAH ULUMUL QURAN
NASIKH DAN MANSUKH
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Dosen Pembimbing: Bapak Ayis Mukholik
Disusun Oleh :
Ahmad Zam Zam Zainal Abidin
SEKOLAH TINGGI EKONOMI DAN PERBANKAN ISLAM
STEBANK SAFRUDDIN PRAWIRANEGARA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Nasikh Mansukh” ini
dengan baik. Sholawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW yang telah membimbing ummat manusia dari jalan kegelapan menuju jalan yang
terang yakni Agama Islam.
Makalah ini memuat
pendahuluan, pembahasan, penutup, dan daftar pustaka. Makalah ini penulis susun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an semester 1 Jurusan Ekonomi Perbankan Islam STEBANK Jakarta.
Penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada beberapa pihak yang berperan dalam
penyusunan makalah ini. Makalah ini berusaha menjelaskan mengenai ayat-ayat
nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an. Penulis sadar dalam penyusunan makalah ini
belum bisa dikatakan mencapai tingkat kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran
yang membangun sangat penulis butuhkan agar dapat menjadi pelajaran untuk
penulisan makalah yang selanjutnya. Mohon maaf apabila ada kesalahan cetak atau
kutipan-kutipan yang kurang berkenan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Amiiiin.
Jakarta, 10 November 2017
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setelah Nabi
Muhammad SAW wafat, ia meninggalkan dua kitab yang akan menjadi pedoman manusia
hidup di dunia agar tidak tersesat yaitu Al-qur’an dan Al-hadits. Allah juga
menurunkan syariat samawiyah kepada para utusanNya untuk memperbaiki umat di
bidang akidah, ibadah dan muamalah. Tentang bidang ibadah dan mu’amalah memilki
prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan
masyarakat. Tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang
lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi
pada masa yang lain. Disamping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan
dan pembentukan tidak sama dengan perjalannya sesudah memasuki era perkembangan
dan pembangunan. Dengan demikian hikmah tasyri’ (pemberlakuan hukum)
pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’ pada periode yang
lain. Tetepi tidak diragukan bahwa pembuat syari’at, yaitu Allah, rahmat dan
ilmuNya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya
milikNya.
Oleh sebab
itu, wajarlah jika Allah menghapuskan sesuatu syari’at dengan syari’at lain
untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuanNya yang azali tentang
yang pertama dan yang terkemudian.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian Nasikh dan Mansukh ?
2.
Bagaimana sejarah Nasikh dan Mansukh?
3.
Macam- macam
naskh dan mansukh beserta contohnya?
4.
Cara
mengetahui adanya nasakh dan mansukh?
5.
Apa fungsi memahami Nasikh Mansukh?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasikh dan
Mansukh
Nasikh menurut bahasa mempunyai beberapa makna yaitu : Menghapus, merubah,
membatalkan atau menggantikan hukum syara’ dengan yang lainnya. Adapun makna
Nasikh menurut para Ulama’ ada empat (4) yaitu :
1.
Izalah (menghilangkan), seperti dalam ayat berikut :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا
تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي
الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya :
“Dan kami
tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun, melainkan apabila ia mempunyai
suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu,
Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan
ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksna.”(Qs.Al-hajj : 52)
2.
Tabdil (penggantian), seperti dalam ayat berikut :
وَإِذَا
بَدَّلْنَا آيَةً مَّكَانَ آيَةٍ وَاللّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُواْ
إِنَّمَا أَنتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
Artinya :
“Dan Apabila
kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya padahal Allah
lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kamu
adalah orang yang mengada-adakan saja’. Bahkan, kebanyakan mereka tiada
mengetahui.”(QS. An-Nahl: 101)
3.
Tahwil (memalingkan), seperti tanasukh Al-mawarist, artinya memalingkan
pusaka dari seseorang kepada orang lain.
4.
Naql (memindahkan dari satu tempat ketempat yang lain)
seperti nasakhtu
Al-Kitaaba, yakni mengutip atau memindahkan isi kitab tersebut berikut lafazh
dan tulisannya. Sebagian ulama’ menolak makna keempat ini, dengan alasan bahwa
si-nasikh tidak dapat mendatangkan lafazh yang di-mansukh itu, tetapi hanya
mendatangkan lafazh lain.
Sedangkan, Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus atau
dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah
para ulama’ ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang
belum diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hukum syara’ yang baru yang
datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansuhk itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama
yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi
dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.
B.
Sejarah Nasikh dan Mansukh
Asal mula
timbulnya teori nasikh ialah bermula adanya ayat-ayat yang menurut anggapan
mereka saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.
Nasikh
mansukh alam konteks eksternal agama yang lazim dikenal dengan sebutan al-badadiperselisihkan
dikalangan antar pemeluk agama.Penolakan Yahudi dan Nasrani terhadap
kemungkinan bada’ dan penerimaan kaum muslimin terhadap naskh antar agama, pada
dasarnya timbul karena adanya perbedaan paham ketiga agama ini terhadap
kenabian dan kitab sucinya. Yahudi dan Nasrani tidak mengakui adanya naskh, karena
menurut mereka, naskh mengandung konsep al-bada’, yakni muncul
setelah tersembunyi. Maksudnya mereka adalah, naskh itu adakalanya tanpa
hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena suatu kejelasan yang
didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula bagi-Nya.
Cara
berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah naskh
dan mansukh telah diketahui oleh Allah labih dahulu. Jadi
pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa
hamba-hambaNya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah karena sesuatu
maslahat yang telah diketahuiNya yang absolut terhadap segala milikNya.
Pengetahuan
tentang Nasikh dan Mansukh mempunyai manfaat besar, agar pengetahuan tentang
hukum tidak menjadi kabur dan tidak terjadi kesalahpahaman. Oleh sebab itu,
terdapat banyak atsar yang mendorong agar mengetahui masalah ini.
Seperti yang diriwayatkan Ali pada suatu hari, ia bertanya pada seorang hakim
“Apakah kamu mengetahui yang naskh dan yang mansukh?” “Tidak”
jawab hakim itu. Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamupun akan mencelakakan
orang lain.”
Untuk mengetahui
Nasikh dan Mansukh terdapat beberapa cara:
a.
Keterangan
tegas dari Nabi
b.
Ijma’ umat
bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh
c.
Mengetahui
mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan sejarah.
C.
Macam-macam Naskh
beserta contohnya
Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi
empat macam yaitu:
1.
Naskh Sharih
Yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang
terdahulu. Misal ayat tentang perang pada ayat 65 surat Al-Anfal yang
mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir :
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ
صَابِرُونَ يَغْلِبُواْ مِئَتَيْنِ وَإِن يَكُن مِّنكُم مِّئَةٌ يَغْلِبُواْ
أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّ يَفْقَهُونَ
Artinya :
“Hai Nabi,
korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang
yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang
musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat
mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak
mengerti.“ ( QS.Al-Anfal : 65 )
Dan menurut jumhur
ulama’ ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan
dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama
:
الآنَ
خَفَّفَ اللّهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم
مِّئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُواْ مِئَتَيْنِ وَإِن يَكُن مِّنكُمْ أَلْفٌ
يَغْلِبُواْ أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللّهِ وَاللّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya :
“ Sekarang
Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan.
Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu orang (yang sabar), mereka akan dapat
mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal : 66 )
2.
Naskh dhimmy
Yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan, tidak bisa
dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta
keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang
terdahulu. Misalnya ayat tentang kewajiban wasiat
kepada ahli waris yang dianggapmansukh oleh ayat waris.
3.
Naskh kully
Yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ‘iddah
empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah: “orang-orang yang meninggal
dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari..”, di-naskh oleh
ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 “dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah
hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)...”, dalam surat yang sama.
4.
Naskh juz’i
Yaitu menghapus hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang
hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat
muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang
yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4: “
dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”, dihapus oleh
ketentuan li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika sipenuduh suami
yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama “ dan orang-orang yang
menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain
diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah
dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
Berdasarkan jenis penghapusannya, maka dapat di klasifikasikan sebagai
berikut:
1. Al-qur’an menasakhkan Al-qur’an.
Contoh: QS
al-anfal: 65 yang dinasakhkan oleh ayat berikutnya 66.
2. Al-qur’an menasakhkan As-sunah.
Contoh:
Perbuatan nabi dan para sahabat menghadap Baitul Maqdis dalam shalat
dinasakhkan oleh ayat QS: al-baqarah:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke
arahnya...”.
3. As-sunnah menasakhkan As-sunnah.
Contoh:
“aku telah melarangmu menziarahi kubur, maka (sekarang) ziarahilah
4. As-sunnah menasakhkan Al-qur’an (imam Syafi’i
menolak).
Contoh: QS
al-Baqarah: 180
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.”
dinasakhkan
dengan hadits mutawatir “ketahuilah, tidak ada wasiat untuk ahli waris”
D.
Cara mengetahui adanya
Nasakh
Ulama dalam membahas masalah Nasikh dan Mansukh membagi Naskh kedalam tiga
kategori utama, yaitu:
1.
Wahyu yang terhapus, baik hukum maupun teksnya di dalam mushaf (naskh
al-hukm wa al-tilawah jami’an) Contohnya adalah riwayat yang datang dari aisyah
tentang terjadinya muhrim karena sepuluh kali susuan, kemudian di naskh dengan
lima kali susuan.
“Aisyah berkata: di antara yang di
turunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang di ketahui (ma’lum) itu
menyebabkan muhrim, kemudian (ketentuan) ini di naskh oleh
lima susuan yang di ketahui (ma’lum). Maka ketika Rasulullah SAW. meninggal
dunia, lima susuan ini (hukum yang terakhir) tetap di baca sebagai bagian dari
teks Al-Qur’an.”
Kata-kata aisyah ‘lima susuan ini termasuk ayat al-qur’an
yang di baca’ secara dzahir dapat di pahami bahwa tilawahnya masih tetap,
padahal tidak demikian, sebab teks tersebut tidak terdapat di dalam mushaf
resmi usmani. Yang jelas bahwa teks ayat tersebut juga telah di naskh. Hal ini
baru di ketahui masyarakat setelah meninggalnya rasulullah saw, sementara
sebagian mereka masih membacanya.
2.
Wahyu yang terhapus teks atau bacaannya, tetapi hukumnya masih berlaku
(naskh al-tilawah duna al-hukm).
Contoh yang sering muncul adalah ayat rajam, ayat yang mengungkapkan bentuk
hukuman rajam bagi orang yang berzina. Dalam beberapa riwayat di nyatakan bahwa
Umar bin Khatab memandangnya sebagai bagian dari teks alqur’an. Adapun ayat
al-rajm tersebut berbunyi sebagai berikut:
ﺍﻠﺸﺦ ﻮﺍﻠﺸﻴﺨﻪ ﺍﺬﺍ ﺯﻨﻴﺎ ﻔﺎﺭ ﺟﻤﻮﻫﻣﺎ
ﺍﻟﺒﺔ ﻧﻛﺎﻻ ﻤﻥﷲ ﻮﷲ ﻋﻟﻴﻢ ﺤﻜﻴﻢ
Apabila seorang laki-laki dewasa dan seorang perempuan dewasa berzina, maka
rajamlah keduanya, itulah kepastian hukum dari Allah dan Allah maha kuasa lagi maha bijaksana
3.
Wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau bacaanya masih
terdapat dalam mushaf (naskh al-hukm duna al-tilawah)
Contoh:
al-baqoroh 240 ,lalu diganti dengan al-baqoroh: 234.
Imam al-suyuti dengan mengutip perkataan al qadhi abu bakar al-arabi
menjelaskan bahwa sedikitnya ada dua hikmah terhadap ayat yang di naskh
hukumnya tetapi teks atau bacaanya tetap terekam dalam mushaf. Pertama, bahwa
Al-Qur’an di samping di baca untuk di ketahui hukumnya dan di amalkan, juga di
baca karena ia kalam Allah yang dengan membacanya akan mendapat pahala maka di
biarkannya bacaan (tilawah) tersebut karena hikmah ini. Kedua, bahwa naskh pada
ghalibnya adalah untuk meringankan, maka di biarkanya tilawah tersebut untuk
mengingatkan nikmat yang di berikan.
E. Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
a.
Memelihara kepentingan hamba
b.
Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai
dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia
c.
Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk
mengikutinya atau tidak
d.
Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi
umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di
dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kehal yang mengandung kemudahan dan keringana.
Pengetaguan
yang benar terhadap teks yang nasikh dan yang mansukh, disamping dapat membantu
seseorang di dalam memahami konteks diturunkannya sebuah teks,juga dapat
mengetahui bagian mana teks al-Qur’an yang turun lebih dahulu dan yang turun
kemudian.Disisi lain, pengetahuan terhadap fenomena ini juga akan memperteguh
kekayaan kita bahwa sumber Al-Qur’an yang hakiki adalah Allah. Sebab Dialah yang
menghapuskan sesuatu dan menetapkan yang lainnya menurtut kehendakNya dan
kekuasaaNya tidak dapat diintervensi oleh kekuatan
apapun.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nasakh adalah
mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khithab)
syara’ yang lain. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan disebut Nasikh. Sadangkan mansukh ialah hukum
syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan
dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang
kemudian.
Hikmah nasakh secara umum ialah
untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling
sempurna, selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa
terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman, untuk menjaga agar
perkembangan hukun Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat
yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang sempurna,
untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian
dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau
tidak, untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia
mengamalkan hukum-hukum perubahan, untuk member dispensasi dan keringanan bagi
ummat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qhaththan, Manna’ Khalil. 2009.
Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor:
PT. Litera AntarNusa. HALIM JAYA.
This post have 0 comments