MAKALAH
ULUMUL HADITS
Tentang : Kewiraswastaan dan
perusahaan kecil
Dosen : Ayis Mucholik, Hum.
Disusun Oleh :
1.
Wahab
SEKOLAH TINGGI EKONOMI DAN PERBANKKAN ISLAM
MR.
SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadits
merupakan pedoman kedua bagi umat islam di dunia setelah Al – Qur’an, yang
tentunya memiliki peranan sangat penting pula dalam disiplin ajaran islam.
Hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan takrir nabi, para sahabat, dan
para tabiin.[1][1]
Dengan
demikian, keberadaan Al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan
Al – Qur’an.Sejarah hadits dan periodesasi penghimpunannya lebih lama dan
panjang masanya dibandingkan dengan Al-Qur’an.Al-Hadits butuh waktu 3 abad
untuk pengkodifikasiannya secara menyeluruh. Banyak sekali liku-liku dalam
sejarah pengkodifikasian hadits yang
berklangsung pada waktu itu.
Munculnya
hadits – hadits palsu merupakan alasan yang amat kuat untuk mengadakan
kodifikasi hadits. Selain itu,
kodifikasi hadits ketika itu di lakukan karena para ulama hadits telah
tersebar ke berbagai negeri, dikawatirkan hadits akan menghilang bersama
wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak menaruh
perhatian memelihara hadits, dan banyak berita – berita yang diada-adakan oleh
kaum penyebar bid’ah.
Atas dasar
masalah yang diuraikan di atas makalah ini disusun. Disamping itu adalah untuk
memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Al-Quran dan Hadis.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa latar
belakang munculnya usaha kodifikasi Hadits?
2.
Bagaimana
pengkodifikasian Hadis pada masa mutaqaddimin?
3.
Bagaimana
pengkodifikasian Hadis pada masa mutaakhirin?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui latar belakang munculnya usaha kodifikasi Hadis.
2.
Untuk mengetahui
pengkodifikasian Hadis pada masa mutaqaddimin.
3.
Untuk
mengetahui pengkodifikasian Hadis pada masa mutaakhirin.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Munculnya Usaha
Kodifikasi Hadits
Sejarah
mencatat bahwa pada masa rasul Hadis belum banyak ditulis apalagi dibukukan.
Menurut data sejarah, awal mula kodifikasi hadis secara resmi diperkasai oleh
Umar Abdul Aziz. Ia adalah khalifah ke 8
dari dinasti Ummayah. Kodifikasi Hadis yang dilakukan pada masa ini dilatar belakangi
oleh ke khawatiran Umar Bin Abdul Aziz terhadap berbagai persoalan selama masa
pemerintahannya akibat pergolakan politik yang sudah terjadi sejak lama yang
mengakibatkan perpecahan umat islam kepada beberapa kelompok. Hal ini secara
tidak langsung memberikan pengaruh negatif kepada orientasi hadis-hadis nabi
dan menimbulkan kehawatiran. Kehawatiran itu pada tiga hal, yaitu: pertama, hilangnya Hadis dan dengan
meninggalnya para ulama. Hal ini kemudian memicu para ulama untuk segera
membukukan hadis sesuai petunjuk sahabat yang mendengar langsung dari nabi. Kedua, bercampurnya antara Hadis yang
sahih dan yang palsu. Ketiga, semakin
meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara yang
satu dengan yang lainnya tidak sama. Demikianlah persoalan yang menentukan
bangkitnya semangat para muslim khususnya Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah
dan segera mengambil tindakan positif guna menyelamatkan Hadis dari kemusnahan
dan pemalsuan melalui pembukuannya.
B.
Masa Mutaqadimin
Berikut ini adalah fase-fase perjalanan
hadits nabawi :
1.1. Masa
Rasulullah
Periwayatan hadits pasa masa Rasul
tidak lepas dari peran penting para shahabat beliau, oleh sebab itu pada masa
ini juga akan menyinggung peran shahabat saat itu. Dapat diketahui, bahwa hadis
pada masa Rasulullah SAW diterima dan diriwayatkan oleh para shahabat dengan
cara oral (syafahiyyan). Yaitu dengan
cara mendengar hadits langsung dari Rasulullah kemudian diriwayatkan dengan
lisan tanpa menunggu tulisan. Dengan cara seperti ini banyak shahabat yang hafal
hadits, hadits pada masa Nabi tidak ditulis dikarenakan apa bila hadits ditulis
maka yang akan terjadi ialah tercampurnya antara ayat alquran dan hadits nabi.
Para shahabat akan lebih fokus dalam penulisan hadist dibandingkan Al-Qur’an.[2][3]
1.2. Masa
Shahabat
Masa ini biasa disebut dengan “Masa
Pertumbuhan” (daur al-Nusyu’). Masa
ini berjalan kurang lebih satu abad lamanya, mulai dari awal hingga penghujung
abad pertama. Pada masa shahabat, hadits dapat terjaga dengan baik dan
sempurna. Menurut Nuruddin al-‘ikhtir, ada beberapa faktor yang berperan dalam
menjaga kesempurnaan hadits, di antaranya :
a.
Kecerdasan para shahabat dan
kejernihan pikiran mereka.
Lingkungan masyarakat Arab waktu itu
belum terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran bangsa lain. Masyaraktnya pun
dikenal tidak pandai dalam hal baca tulis, sehingga dalam menanngkap suatu
informasi apapun mereka lebih banyak mengandalkan daya ingat atau hafalan
begitu pula dalam menerima hadits dari Rasulullah SAW. Adapun faktor lainnya
ialah keberadaan Rasulullah di sekitar mereka yang digunakan sebagai alasan
mengapa hadits cukup dihafal dan belum begitu perlu ditulis.
b.
Motivasi agama
Kesadaran bahwa kebahagiaan dunia
maupun akhirat terdapat dalam kepatuhan manusia terhadap perintah dan ajaran
agama. Komitmen dengan apa yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya
serta menjadikan Al-Qur’an dan hadits sebagai pegangan hidup adalah jalan untuk
meraih kebahagiaan yang hakiki.
Motivasi tersebut digunakan oleh
para shahabat sebagai pemicu semangat berdakwah menyebarkan hadits dari
Rasulullah SAW. Ditambah lagi dorongan semangat dari Rasulullah SAW untuk
menghafalkan hadits dari beliau dan menyampaikannya.
c.
Kedudukan hadits
Hadits yang merupakan sumber hukum
Islam yang kedua setelah Al-Qur’an menuntut para shahabat untuk selalu
berpegang teguh dengan hadits dan mengamalkannya.
d.
Metode penyampaian hadits
Nabi SAW adalah seorang pendidik.
Dalam menyampaikan hadits kepada para shahabat, beliau memiliki cara yang bijak
dan patut untuk ditauladani agar materi tersebut dapat diserap secara maksimal
oleh para shahabat sebagai murid-murid beliau. Adapun cara-caranya sebagai
berikut :
1.
Materi tidak
disampaikan secara tergesa-gesa ataupun cepat akan tetapi disampaikan secara
berlahan, bahkan tidak jarang beliau mengulang-ulang sampe tiga kali agar
pendengar benar-benar faham akan makna ucapan tersebut.
2. Tidak
menyampaikan terlalu panjang lebar, tetapi cukup seperlunya namun bermakna.
3. Materi
disampaikan tidak terlalu monoton.
4. Kondisi
audien perlu dipertimbangkan.
e.
Penulisan hadist
Faktor yang terpenting dalam menjaga
hadist ialah penulisannya. Pada zaman Nabi sudah ada hadist yang sudah ditulis
oleh beberapa shahabat. Namun penulisan hadits tersebut masih bersifat pribadi,
karena waktu itu ada larangan untuk menulis hadits. Di antara shahabat yang
yang memiliki catatan hadist ialah Abdullah ‘Amr bin al-‘Ash. Dalam catatannya
terdapat tiga ribu hadits yang ditulis secara pribadi dari hafalan beliau,
kumpulan hadits dari beliau dinamakan dengan Al-Shahifah Al-Shadiqah.[3][4]
1.3. Masa Tabi’in
Terdapat
perbedaan bila dibanding dengan masa sebelumnya yaitu pada masa ini hadits
sudah mulai digunakan secara maksimal, sekalipun dalam batas persyaratan lisan
dan belum terbukukan secara sempurna.
Selain itu
kondisi masyarakat juga mulai berubah, khususnya terkait dengan periwayatan
hadits. Perubahan itu nampak dalam beberapa hal berikut:
a.
Bila zaman
sahabat hafalan masih relatif kuat, pada masa ini kekuatan hafalaan sudah mulai
memudar. Hal ini disebabkan karena banyak sahabat yang hijrah keluar jazirah
arab yang kemudian kawin dengan bangsa lain yang tradisi hafalannya tidak
seperti masarakat arab.
b. Sanad hadits
mulai memanjang dan bercabang. Hal ini disebabkan juga oleh berpencarnya para
perowi hadits ke daerah-daerah yang berjauhan.
c.
Munculnya
banyak sekte. Bermunculannya banyak sekte dan aliran yang menyimpang dari jalur
yang dianut oleh para sahabat berdampak pada kualitas hadits. Munculnya
hadits-hadits palsu bagiannya juga disebabkan oleh faktor ini. Ada sekte jabariyah,
khawarij, mu’tazilah, dll.
Kondisi ini
berdampak positif bagi bangkitnya para ulama hadits untuk membentengi
al-Sunnah. Beberapa inisiatif yang dilakukan para Ulama saat itu ialah:
a.
Kodifikasi
hadits secara resmi (التدوين الرسمي).
Agar hadits tetap terjaga dari bentuk pemalsuan maka diadakan usaha pembukuan.
Inisiatif ini muncul dari khalifah Umar bin Abdul Aziz yang saat itu merasa
prihatin dengan wafatnya para ulama hadits sedangkan hadits belum semuanya
ditulis. Beliau menyuruh gubernur saat itu Abu Bakar bin Hazm untuk
mengumpulkan hadits-hadits yang masih berada di Ulama hadits. Muhammad bin
Shihab Az-Zuhri ditunjuk sebagai koordinator tim pengumpul hadits. Pengumpulan
hadits seperti ini disebut dengan hadits riwayat. Hadits yang terkumpul saat
itu belum diklasifikasikan berdasarkan bab namun masih bercampur dalam satu
buku kumpulan hadits-hadits Nabi (al-jawami’).
b. Al-Jahr wa
Ta’dil digunakan untuk menyeleksi hadits dan mendeteksi kualitas perawi.
c.
Merumuskan
kaidah-kaidah dan kriteria penerimaan hadits. Perawi yang tidak
d. dikenal kepribadiannya dan tidak tergolong
dalam kategori perawi yang berkompeten maka hadits mereka ditolak.[4][5]
C.
Masa
Mutaakhirin
Periode baru
pengkodifikasiaan hadits diawali dengan perintah khalifah Umar bin Abd al-‘Aziz
kepada para ulama untuk menuliskan hadis-hadis dan mengirimkan kepadanya. Dan
diriwayatkan bahwa ia telah mengirimkan kepada Murrah bin Katsir untuk menulis
hadis-haris baginya. Ia juga menulis surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin
Hazm: “Catatkan setiap hadis Nabi yang ada padamu dan kirimkan juga kepadaku
apa saja yang kau riwayatkan dari Umar, sebab saya khawatir hadis-hadis itu
akan hilang”. Adapun orang pertama yang menerima anjuran dan permintaan
khalifah ini adalah seorang ulama Hijaz dan Syam, yaitu Muhammad bin Muslim bin
Syihab az-Zuhri.
Kebijakan
yang diambil oleh Umar bin al-‘Aziz telah membawa dampak luar biasa. Kesadaran
akan pentingnya penulisan hadis betul-betul dirasakan para ulama kala itu,
keengganan dan ketabuan telah berubah menjadi sebuah kemestian adanya. Generasi
ini sudah memahami alasan kekhawatiran Umar bin Khattab akan adanya kitab
tandingan selain al-Qur’an dengan diibaratkan pada orang-orang ahlul Kitab
sebelum islam. Hal tersebut tidak dapat di analogikan dengan kedudukan hadis
terhadap al-Qur’an. Karena orang-orang ahlul kitab sengaja membuat kitab
tandingan tersebut tidak sebagaimana hadis. Seperti telah dituturkan Dhahaj bin
Muzaim: “Jangan disamakan catatan-catatan hadis dengan lembaran-lembaran
mushaf”.
Walau
tradisi menulis hadits sangat dirasakan manfaatnya namun penghimpunan hadis
baru terealisir pada paro abad kedua hijriyah. Abd ar-Razaq menuturkan bahwa
yang pertama mengumpulkan hadis adalah Abd al-Malik bin Uraij (w.150/767) dan
Abd ar-Rahman al-Auza’I (w.157/773). Az-Zahabi menulis bahwa pada masa itu para
ulama mulia mencatat hadis, fikih, dan tafsir, yaitu Juraij (w.150) di Makkah,
Anas bin Malik (w.176) di Madinah, al-Auza’I di Siria, Sa’id bin Abi Urwah
(w.156) di Basrah, Mu’ammar di Yaman, dan Sufyan as-Sauri (w.167) di Kufah.
Pada pertengahan abad kedua, curahan perhatian para ulama lebih besar pada
penghimpunan hadis-hadis Nabi dalam bentuk musnad. Adapun musnad yang pertama
adalah karya Abu Daud at-Tayalisi dan Musnad bin Hambal. Penyusunan ini terus
berlanjut dengan tersusunnya kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shohih yang
terkenal dengan sebutan Kutub as-Sittah. Untuk generasi selanjutnya lebih
bersifat memberi penjelasan atau ulasan dari kitab-kitab yang sudah ada.[5][6]
Adapun yang
menjadi faktor-faktor penunjang kemurnian hadis adalah: pertama, adanya
ikatan emosional umat islam untuk berpegang teguh pada apa yang datang dari
Rasulullah, dengan diperkuat oleh anjuran al-Qur’an untuk itu. Kedua, kekuatan
hafalan yang luar biasa dari para ulama hadis telah menjadi tradisi. Ketiga,
sikap kehati-hatian terhadap hadis dari pemalsuan. Keempat, adanya
peninggalan-peninggalan manuskrip yang berisi catatan-catatan hadis. Kelima,
penyebaran ajaran Nabi ke berbagai daerah oleh para ulama secara merata. Keenam, adanya majlis-majlis
Ilmu yang dilaksanakan oleh para ulama dalam melimpahkan hadis. Ketujuh, komitmen para ulama dalam meriwayatkan hadis
dengan ditunjang oleh sikap religious yang tinggi. Kedelapan, adanya
usaha serius dari paraulama hadis dalam pencarian dan penghimpunan hadis serta
upaya memilah-milah.[6][7]
Selanjutnya,
penyempurnaan dan pengembangan system penyusunan kitab-kitab hadist (hadist
muta’akhirin) :
Penyaringan
hadist terjadi ketika pemerintahan di pegang oleh dinasti Bani ‘Abbas,
khususnya sejak masa al-Mamun sampai al-Muqtadir (201-300 H). Munculnya periode
penyaringan ini karena ada priode sebelumnya (periode tadwin) belum
berhasil memisahkan beberapa hadist yang mawquf dan maqthu dari
hadist yang marfu’. Demikian juga, belum bisa memisahkan hadist-hadist
yang dha’if dari yang shahih. Bahkan masih ada hadist yang mawdhu’
yang tercampur dengan yang shahih.
Pada masa
ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadist yang
diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, para ulama berhasil
memisahkan hadist-hadist yang dha’if dari hadist-hadist shahih,
yang mawquf dan maqtu’ dari yang marfu’, meskipun dari
penelitian beriktnya masih ditemukan hadist-hadist yang dha’if pada
kitab Shahih karya mereka.
Berkat
keuletan dan keseriusan para ulama masa itu, maka muncullah kitab-kitab hadist
yang hanya memuat hadist-hadist shahih.
Kitab-kitab tersebut dikenal dengan dengan al-Kutub al-Sittah (Enam
Kitab Induk).
Ulama yang
berhasil menyusun kitab shahih,yang pertama adalah Abu’ Abd Allah bin Isma’il
bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, yang dikenal dengan nama
Imam Bukhari (194-252) dengan kitabnya al-Jami’ al-Shahih. Menyusul Abu Husain
Muslim bin al-Hajjaj al Qusyarairi
al-Naisaburi yang dikenal dengan nama Imam Muslim (204-261 H), dengan kitabnya
yang disebt al Jami’ al-Shahih. Usaha yang sama juga yang dilakukan oleh Abu
Dawud Sulaiman bin al-Asy’asi bin Ishaq al-Sijistani (202-275 H), Abu Isa bin
Muhammad bin Isa Sirah al-Turmudzi (200-279 H), kemudian Abu Abd al-Rahman bin
Sua’aid bin Bahr al-Nasa’I (215-302 H.) dan Abd Allah bin Yazid Ibn Majah
(207-237 H.). Karya keempat ulama tersebut dikenal dengan kitab Sunan.[7][8] Menurut para ulama, kitab
tersebut kualitasnya di bawah kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim. Keenam kitab diatas secara lengkap diurutkan sebagai berikut :
1.
Al-Jami’
al-Shahih yang disusun oleh al-Bukhari
2.
Al-Jami’
al-Shahih yang disusun oleh Muslim
3.
Al-Sunan yang
disusun oleh Abu Dawud
4.
Al-Sunan yang
disusun oleh al-Turmudzi
5.
Al-Sunan yang
disusun oleh al-Nasa’i
Urutan tersebut menujukkan urutan kualitasnya, meskipun para ulama
berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang berpendapat karya Muslim dan
al-Bukhari sulit dibedakan karena sama-sama berkualitas shahih. Demikian pula
halnya dengan urutan lainnya. Ada yang menempatkan Malik bin Anas dan ada pula
yang menempatkan al- Darimi.[9][10]
Setelah munculnya al-kutub al-sittah
dan al-muwaththa’ Malik, serta al-Musnad karya Ahmad ibn Hanbal, para ulama
mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab Jawami’, kitab syarah
danmukhtasar, mentakhrij, menyusun kitab Atraf dan Zawa’id serta penyusunan
kitab hadist untuk topic-topik tertentu. Diantara ulama yang masih melakukan
penyusunan kitab hadist yang memuat hadist-hadist shahih di antaranya adalah
Ibn Hibban al-Bishri (w. 354 H.), Ibn Khuzaimah (w. 311 H), dan al-Hakim
al-Naisaburi.
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini
lebih mengarah kepada usaha pengembangan dengan beberapa variasi pen-tadwin-an
terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Diantara usaha itu ialah mengumpulkan isi
kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, seperti yang dilakukan Muhammad ibn ‘Abd
Allah al-Jawaza’I dan Ibn al-Furat (w.414 H). Mereka juga mengumpulkan isi
kitab yang enam, seperti yang dilakukan oleh ‘Abd al-Haqq ibn ‘Abd Rahman
al-Sibli (yang terkenal dengan nama al-Kharrat (w. 538 H), al-Fairu al-Zabadi,
dan Ibn al-Atsir al-Jazari. Ada yang mengumpulkan kitab-kitab hadist mengenai
hokum, seperti yang dilakukan oleh al-Daruqutni, al-Baihaqi, Ibn Daqiq al-Id,
Ibn Hajar al-Asqalani, dan Ibn Qudamah al-Maqdisi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam kodifikasi pada zaman
ulama-ulama muqoddimin seperti masa Nabi Muhammad SAW, shahabat, dan tabi’in
kenyakan masih menggunakan metode hafalan terutama pada zaman Nabi SAW. Pada
masa beliau hadits tidak diperbolehkan untuk ditulis karena takut akan
tercampur dengan Al-Quran, sebab lain karena shahabat tidak terlalu fokus
dengan hadits yang merupakan sunnah beliau. Kodifikasi secara tertulis terjadi
pada masa tabi’in, tepatnya pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang pada
saat itu masyarakat arab banyak yang berkelana dan menikah dengan bangsa lain
yang kekuatan hafalannya berbeda dengan masyarakat arab. Dikhawatirkan hadits
akan hilang, maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk pembukuan hadits yang dikoordinatori
oleh Muhammad Shihab Al Zuhri.
Penyaringan
hadist terjadi ketika pemerintahan di pegang oleh dinasti Bani ‘Abbas,
khususnya sejak masa al-Mamun sampai al-Muqtadir (201-300 H). Munculnya periode
penyaringan ini karena ada priode sebelumnya (periode tadwin) belum
berhasil memisahkan beberapa hadist yang mawqufdan maqthu dari
hadist yang marfu’. Demikian juga, belum bisa memisahkan hadist-hadist
yang dha’if dari yang shahih. Bahkan masih ada hadist yang mawdhu’
yang tercampur dengan yang shahih.
Pada masa
ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadist yang
diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, para ulama berhasil
memisahkan hadist-hadist yang dha’if dari hadist-hadist shahih,
yang mawquf dan maqtu’ dari yang marfu’, meskipun dari
penelitian beriktnya masih ditemukan hadist-hadist yang dha’if pada
kitab Shahih karya mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Alfatih M
Suryadilaga, dkk. 2010.Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras.
Octoberrinsyah. 2005. Al- Hadis. Yogyakarta :
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
MGMP TIM. 2011. Ilmu Hadis. Yogyakarta : Kantor
Kementrian Agama Provsinsi Yogyakarta
Smeer Zaid.2008.Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis
Praktis. Malang: UIN Malang Press.
Zuhri M. 2003. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara
Wacana.
[2][3]Zaid
B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: UIN
Malang Press, 2008), hlm. 19.
[3][4]Ibid,
hlm. 19-24.
[4][5]Ibid.,
hlm. 25-27.
[5][6]
M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis,cet. I, (Yogyakarta: Teras,
2010), hlm. 87-89.
[7][8]TIM MGMP, Ilmu Hadis, (Yogyakarta :Kantor
Kementrian Agama Provsinsi Yogyakarta), hlm. 194.
[8][9]Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 61-62.
This post have 0 comments