-->

Berita Harian

PENGUNJUNG

https://www.idblanter.com https://www.idblanter.com
https://www.idblanter.com
BERITA TERPOPULER TERPERCAYA DAN TERUPDATE MASA KINI
AYO DUKUNG MEDIA KAMI DAN DAPATKAN BERITA TERBARU YANG TERUPDATE, TERBAIK, TERHEBAT DAN TENTUNYA MEDIA TERPERCAYA ZAMAN NOW

Advertisement

iklan banner

Pages - Menu

Wednesday 22 November 2017

MAKALAH
ULUMUL HADITS
Tentang : Kewiraswastaan dan perusahaan kecil
Dosen : Ayis Mucholik, Hum.


 














Disusun Oleh :
1. Wahab


SEKOLAH TINGGI EKONOMI DAN PERBANKKAN ISLAM
MR. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Hadits merupakan pedoman kedua bagi umat islam di dunia setelah Al – Qur’an, yang tentunya memiliki peranan sangat penting pula dalam disiplin ajaran islam. Hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan takrir nabi, para sahabat, dan para tabiin.[1][1]
Dengan demikian, keberadaan Al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan Al – Qur’an.Sejarah hadits dan periodesasi penghimpunannya lebih lama dan panjang masanya dibandingkan dengan Al-Qur’an.Al-Hadits butuh waktu 3 abad untuk pengkodifikasiannya secara menyeluruh. Banyak sekali liku-liku dalam sejarah pengkodifikasian hadits  yang berklangsung pada waktu itu.
Munculnya hadits – hadits palsu merupakan alasan yang amat kuat untuk mengadakan kodifikasi hadits. Selain itu,  kodifikasi hadits ketika itu di lakukan karena para ulama hadits telah tersebar ke berbagai negeri, dikawatirkan hadits akan menghilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian memelihara hadits, dan banyak berita – berita yang diada-adakan oleh kaum penyebar bid’ah.
Atas dasar masalah yang diuraikan di atas makalah ini disusun. Disamping itu adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Al-Quran dan Hadis.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa latar belakang munculnya usaha kodifikasi Hadits?
2.      Bagaimana pengkodifikasian Hadis pada masa mutaqaddimin?
3.      Bagaimana pengkodifikasian Hadis pada masa mutaakhirin?
C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui latar belakang munculnya usaha kodifikasi Hadis.
2.      Untuk mengetahui pengkodifikasian Hadis pada masa mutaqaddimin.
3.      Untuk mengetahui pengkodifikasian Hadis pada masa mutaakhirin.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Munculnya Usaha Kodifikasi Hadits
Sejarah mencatat bahwa pada masa rasul Hadis belum banyak ditulis apalagi dibukukan. Menurut data sejarah, awal mula kodifikasi hadis secara resmi diperkasai oleh Umar Abdul Aziz. Ia adalah khalifah  ke 8 dari dinasti Ummayah. Kodifikasi Hadis yang dilakukan pada masa ini dilatar belakangi oleh ke khawatiran Umar Bin Abdul Aziz terhadap berbagai persoalan selama masa pemerintahannya akibat pergolakan politik yang sudah terjadi sejak lama yang mengakibatkan perpecahan umat islam kepada beberapa kelompok. Hal ini secara tidak langsung memberikan pengaruh negatif kepada orientasi hadis-hadis nabi dan menimbulkan kehawatiran. Kehawatiran itu pada tiga hal, yaitu: pertama, hilangnya Hadis dan dengan meninggalnya para ulama. Hal ini kemudian memicu para ulama untuk segera membukukan hadis sesuai petunjuk sahabat yang mendengar langsung dari nabi. Kedua, bercampurnya antara Hadis yang sahih dan yang palsu. Ketiga, semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Demikianlah persoalan yang menentukan bangkitnya semangat para muslim khususnya Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah dan segera mengambil tindakan positif guna menyelamatkan Hadis dari kemusnahan dan pemalsuan melalui pembukuannya.
B.     Masa Mutaqadimin
Berikut ini adalah fase-fase perjalanan hadits nabawi :
1.1. Masa Rasulullah
Periwayatan hadits pasa masa Rasul tidak lepas dari peran penting para shahabat beliau, oleh sebab itu pada masa ini juga akan menyinggung peran shahabat saat itu. Dapat diketahui, bahwa hadis pada masa Rasulullah SAW diterima dan diriwayatkan oleh para shahabat dengan cara oral (syafahiyyan). Yaitu dengan cara mendengar hadits langsung dari Rasulullah kemudian diriwayatkan dengan lisan tanpa menunggu tulisan. Dengan cara seperti ini banyak shahabat yang hafal hadits, hadits pada masa Nabi tidak ditulis dikarenakan apa bila hadits ditulis maka yang akan terjadi ialah tercampurnya antara ayat alquran dan hadits nabi. Para shahabat akan lebih fokus dalam penulisan hadist dibandingkan Al-Qur’an.[2][3]
1.2. Masa Shahabat
Masa ini biasa disebut dengan “Masa Pertumbuhan” (daur al-Nusyu’). Masa ini berjalan kurang lebih satu abad lamanya, mulai dari awal hingga penghujung abad pertama. Pada masa shahabat, hadits dapat terjaga dengan baik dan sempurna. Menurut Nuruddin al-‘ikhtir, ada beberapa faktor yang berperan dalam menjaga kesempurnaan hadits, di antaranya :
a.    Kecerdasan para shahabat dan kejernihan pikiran mereka.
Lingkungan masyarakat Arab waktu itu belum terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran bangsa lain. Masyaraktnya pun dikenal tidak pandai dalam hal baca tulis, sehingga dalam menanngkap suatu informasi apapun mereka lebih banyak mengandalkan daya ingat atau hafalan begitu pula dalam menerima hadits dari Rasulullah SAW. Adapun faktor lainnya ialah keberadaan Rasulullah di sekitar mereka yang digunakan sebagai alasan mengapa hadits cukup dihafal dan belum begitu perlu ditulis.

b.      Motivasi agama
Kesadaran bahwa kebahagiaan dunia maupun akhirat terdapat dalam kepatuhan manusia terhadap perintah dan ajaran agama. Komitmen dengan apa yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya serta menjadikan Al-Qur’an dan hadits sebagai pegangan hidup adalah jalan untuk meraih kebahagiaan yang hakiki.
Motivasi tersebut digunakan oleh para shahabat sebagai pemicu semangat berdakwah menyebarkan hadits dari Rasulullah SAW. Ditambah lagi dorongan semangat dari Rasulullah SAW untuk menghafalkan hadits dari beliau dan menyampaikannya.
c.       Kedudukan hadits
Hadits yang merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an menuntut para shahabat untuk selalu berpegang teguh dengan hadits dan mengamalkannya.
d.      Metode penyampaian hadits
Nabi SAW adalah seorang pendidik. Dalam menyampaikan hadits kepada para shahabat, beliau memiliki cara yang bijak dan patut untuk ditauladani agar materi tersebut dapat diserap secara maksimal oleh para shahabat sebagai murid-murid beliau. Adapun cara-caranya sebagai berikut :
1.      Materi tidak disampaikan secara tergesa-gesa ataupun cepat akan tetapi disampaikan secara berlahan, bahkan tidak jarang beliau mengulang-ulang sampe tiga kali agar pendengar benar-benar faham akan makna ucapan tersebut.
2.      Tidak menyampaikan terlalu panjang lebar, tetapi cukup seperlunya namun bermakna.
3.      Materi disampaikan tidak terlalu monoton.
4.      Kondisi audien perlu dipertimbangkan.
e.       Penulisan hadist
Faktor yang terpenting dalam menjaga hadist ialah penulisannya. Pada zaman Nabi sudah ada hadist yang sudah ditulis oleh beberapa shahabat. Namun penulisan hadits tersebut masih bersifat pribadi, karena waktu itu ada larangan untuk menulis hadits. Di antara shahabat yang yang memiliki catatan hadist ialah Abdullah ‘Amr bin al-‘Ash. Dalam catatannya terdapat tiga ribu hadits yang ditulis secara pribadi dari hafalan beliau, kumpulan hadits dari beliau dinamakan dengan Al-Shahifah Al-Shadiqah.[3][4]
1.3. Masa Tabi’in
Terdapat perbedaan bila dibanding dengan masa sebelumnya yaitu pada masa ini hadits sudah mulai digunakan secara maksimal, sekalipun dalam batas persyaratan lisan dan belum terbukukan secara sempurna.
Selain itu kondisi masyarakat juga mulai berubah, khususnya terkait dengan periwayatan hadits. Perubahan itu nampak dalam beberapa hal berikut:
a.       Bila zaman sahabat hafalan masih relatif kuat, pada masa ini kekuatan hafalaan sudah mulai memudar. Hal ini disebabkan karena banyak sahabat yang hijrah keluar jazirah arab yang kemudian kawin dengan bangsa lain yang tradisi hafalannya tidak seperti masarakat arab.
b.      Sanad hadits mulai memanjang dan bercabang. Hal ini disebabkan juga oleh berpencarnya para perowi hadits ke daerah-daerah yang berjauhan.
c.       Munculnya banyak sekte. Bermunculannya banyak sekte dan aliran yang menyimpang dari jalur yang dianut oleh para sahabat berdampak pada kualitas hadits. Munculnya hadits-hadits palsu bagiannya juga disebabkan oleh faktor ini. Ada sekte jabariyah, khawarij, mu’tazilah, dll.
Kondisi ini berdampak positif bagi bangkitnya para ulama hadits untuk membentengi al-Sunnah. Beberapa inisiatif yang dilakukan para Ulama saat itu ialah:
a.       Kodifikasi hadits secara resmi (التدوين الرسمي). Agar hadits tetap terjaga dari bentuk pemalsuan maka diadakan usaha pembukuan. Inisiatif ini muncul dari khalifah Umar bin Abdul Aziz yang saat itu merasa prihatin dengan wafatnya para ulama hadits sedangkan hadits belum semuanya ditulis. Beliau menyuruh gubernur saat itu Abu Bakar bin Hazm untuk mengumpulkan hadits-hadits yang masih berada di Ulama hadits. Muhammad bin Shihab Az-Zuhri ditunjuk sebagai koordinator tim pengumpul hadits. Pengumpulan hadits seperti ini disebut dengan hadits riwayat. Hadits yang terkumpul saat itu belum diklasifikasikan berdasarkan bab namun masih bercampur dalam satu buku kumpulan hadits-hadits Nabi (al-jawami’).
b.      Al-Jahr wa Ta’dil digunakan untuk menyeleksi hadits dan mendeteksi kualitas perawi.
c.       Merumuskan kaidah-kaidah dan kriteria penerimaan hadits. Perawi yang tidak
d.       dikenal kepribadiannya dan tidak tergolong dalam kategori perawi yang berkompeten maka hadits mereka ditolak.[4][5]

C.      Masa Mutaakhirin
Periode baru pengkodifikasiaan hadits diawali dengan perintah khalifah Umar bin Abd al-‘Aziz kepada para ulama untuk menuliskan hadis-hadis dan mengirimkan kepadanya. Dan diriwayatkan bahwa ia telah mengirimkan kepada Murrah bin Katsir untuk menulis hadis-haris baginya. Ia juga menulis surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm: “Catatkan setiap hadis Nabi yang ada padamu dan kirimkan juga kepadaku apa saja yang kau riwayatkan dari Umar, sebab saya khawatir hadis-hadis itu akan hilang”. Adapun orang pertama yang menerima anjuran dan permintaan khalifah ini adalah seorang ulama Hijaz dan Syam, yaitu Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri.
Kebijakan yang diambil oleh Umar bin al-‘Aziz telah membawa dampak luar biasa. Kesadaran akan pentingnya penulisan hadis betul-betul dirasakan para ulama kala itu, keengganan dan ketabuan telah berubah menjadi sebuah kemestian adanya. Generasi ini sudah memahami alasan kekhawatiran Umar bin Khattab akan adanya kitab tandingan selain al-Qur’an dengan diibaratkan pada orang-orang ahlul Kitab sebelum islam. Hal tersebut tidak dapat di analogikan dengan kedudukan hadis terhadap al-Qur’an. Karena orang-orang ahlul kitab sengaja membuat kitab tandingan tersebut tidak sebagaimana hadis. Seperti telah dituturkan Dhahaj bin Muzaim: “Jangan disamakan catatan-catatan hadis dengan lembaran-lembaran mushaf”.
Walau tradisi menulis hadits sangat dirasakan manfaatnya namun penghimpunan hadis baru terealisir pada paro abad kedua hijriyah. Abd ar-Razaq menuturkan bahwa yang pertama mengumpulkan hadis adalah Abd al-Malik bin Uraij (w.150/767) dan Abd ar-Rahman al-Auza’I (w.157/773). Az-Zahabi menulis bahwa pada masa itu para ulama mulia mencatat hadis, fikih, dan tafsir, yaitu Juraij (w.150) di Makkah, Anas bin Malik (w.176) di Madinah, al-Auza’I di Siria, Sa’id bin Abi Urwah (w.156) di Basrah, Mu’ammar di Yaman, dan Sufyan as-Sauri (w.167) di Kufah. Pada pertengahan abad kedua, curahan perhatian para ulama lebih besar pada penghimpunan hadis-hadis Nabi dalam bentuk musnad. Adapun musnad yang pertama adalah karya Abu Daud at-Tayalisi dan Musnad bin Hambal. Penyusunan ini terus berlanjut dengan tersusunnya kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shohih yang terkenal dengan sebutan Kutub as-Sittah. Untuk generasi selanjutnya lebih bersifat memberi penjelasan atau ulasan dari kitab-kitab yang sudah ada.[5][6]
Adapun yang menjadi faktor-faktor penunjang kemurnian hadis adalah: pertama, adanya ikatan emosional umat islam untuk berpegang teguh pada apa yang datang dari Rasulullah, dengan diperkuat oleh anjuran al-Qur’an untuk itu. Kedua, kekuatan hafalan yang luar biasa dari para ulama hadis telah menjadi tradisi. Ketiga, sikap kehati-hatian terhadap hadis dari pemalsuan. Keempat, adanya peninggalan-peninggalan manuskrip yang berisi catatan-catatan hadis. Kelima, penyebaran ajaran Nabi ke berbagai daerah oleh para ulama secara  merata. Keenam, adanya majlis-majlis Ilmu yang dilaksanakan oleh para ulama dalam melimpahkan hadis. Ketujuh,  komitmen para ulama dalam meriwayatkan hadis dengan ditunjang oleh sikap religious yang tinggi. Kedelapan, adanya usaha serius dari paraulama hadis dalam pencarian dan penghimpunan hadis serta upaya memilah-milah.[6][7]
Selanjutnya, penyempurnaan dan pengembangan system penyusunan kitab-kitab hadist (hadist muta’akhirin) :
Penyaringan hadist terjadi ketika pemerintahan di pegang oleh dinasti Bani ‘Abbas, khususnya sejak masa al-Mamun sampai al-Muqtadir (201-300 H). Munculnya periode penyaringan ini karena ada priode sebelumnya (periode tadwin) belum berhasil memisahkan beberapa hadist yang mawquf dan maqthu dari hadist yang marfu’. Demikian juga, belum bisa memisahkan hadist-hadist yang dha’if dari yang shahih. Bahkan masih ada hadist yang mawdhu’ yang tercampur dengan yang shahih.
Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadist yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, para ulama berhasil memisahkan hadist-hadist yang dha’if dari hadist-hadist shahih, yang mawquf dan maqtu’ dari yang marfu’, meskipun dari penelitian beriktnya masih ditemukan hadist-hadist yang dha’if pada kitab Shahih karya mereka.
Berkat keuletan dan keseriusan para ulama masa itu, maka muncullah kitab-kitab hadist yang hanya memuat  hadist-hadist shahih. Kitab-kitab tersebut dikenal dengan dengan al-Kutub al-Sittah (Enam Kitab Induk).

Ulama yang berhasil menyusun kitab shahih,yang pertama adalah Abu’ Abd Allah bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, yang dikenal dengan nama Imam Bukhari (194-252) dengan kitabnya al-Jami’ al-Shahih. Menyusul Abu Husain Muslim bin  al-Hajjaj al Qusyarairi al-Naisaburi yang dikenal dengan nama Imam Muslim (204-261 H), dengan kitabnya yang disebt al Jami’ al-Shahih. Usaha yang sama juga yang dilakukan oleh Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’asi bin Ishaq al-Sijistani (202-275 H), Abu Isa bin Muhammad bin Isa Sirah al-Turmudzi (200-279 H), kemudian Abu Abd al-Rahman bin Sua’aid bin Bahr al-Nasa’I (215-302 H.) dan Abd Allah bin Yazid Ibn Majah (207-237 H.). Karya keempat ulama tersebut dikenal dengan kitab Sunan.[7][8] Menurut para ulama, kitab tersebut kualitasnya di bawah kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Keenam kitab diatas secara lengkap diurutkan sebagai berikut :
1.      Al-Jami’ al-Shahih yang disusun oleh al-Bukhari
2.      Al-Jami’ al-Shahih yang disusun oleh Muslim
3.      Al-Sunan yang disusun oleh Abu Dawud
4.      Al-Sunan yang disusun oleh al-Turmudzi
5.      Al-Sunan yang disusun oleh al-Nasa’i
6.      Al-Sunan yang disusun oleh Ibnu Majah[8][9]
Urutan tersebut menujukkan  urutan kualitasnya, meskipun para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang berpendapat karya Muslim dan al-Bukhari sulit dibedakan karena sama-sama berkualitas shahih. Demikian pula halnya dengan urutan lainnya. Ada yang menempatkan Malik bin Anas dan ada pula yang menempatkan al- Darimi.[9][10]
Setelah munculnya al-kutub al-sittah dan al-muwaththa’ Malik, serta al-Musnad karya Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab Jawami’, kitab syarah danmukhtasar, mentakhrij, menyusun kitab Atraf dan Zawa’id serta penyusunan kitab hadist untuk topic-topik tertentu. Diantara ulama yang masih melakukan penyusunan kitab hadist yang memuat hadist-hadist shahih di antaranya adalah Ibn Hibban al-Bishri (w. 354 H.), Ibn Khuzaimah (w. 311 H), dan al-Hakim al-Naisaburi.
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha pengembangan dengan beberapa variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Diantara usaha itu ialah mengumpulkan isi kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, seperti yang dilakukan Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Jawaza’I dan Ibn al-Furat (w.414 H). Mereka juga mengumpulkan isi kitab yang enam, seperti yang dilakukan oleh ‘Abd al-Haqq ibn ‘Abd Rahman al-Sibli (yang terkenal dengan nama al-Kharrat (w. 538 H), al-Fairu al-Zabadi, dan Ibn al-Atsir al-Jazari. Ada yang mengumpulkan kitab-kitab hadist mengenai hokum, seperti yang dilakukan oleh al-Daruqutni, al-Baihaqi, Ibn Daqiq al-Id, Ibn Hajar al-Asqalani, dan Ibn Qudamah al-Maqdisi.



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dalam kodifikasi pada zaman ulama-ulama muqoddimin seperti masa Nabi Muhammad SAW, shahabat, dan tabi’in kenyakan masih menggunakan metode hafalan terutama pada zaman Nabi SAW. Pada masa beliau hadits tidak diperbolehkan untuk ditulis karena takut akan tercampur dengan Al-Quran, sebab lain karena shahabat tidak terlalu fokus dengan hadits yang merupakan sunnah beliau. Kodifikasi secara tertulis terjadi pada masa tabi’in, tepatnya pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang pada saat itu masyarakat arab banyak yang berkelana dan menikah dengan bangsa lain yang kekuatan hafalannya berbeda dengan masyarakat arab. Dikhawatirkan hadits akan hilang, maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan  untuk pembukuan hadits yang dikoordinatori oleh Muhammad Shihab Al Zuhri.
Penyaringan hadist terjadi ketika pemerintahan di pegang oleh dinasti Bani ‘Abbas, khususnya sejak masa al-Mamun sampai al-Muqtadir (201-300 H). Munculnya periode penyaringan ini karena ada priode sebelumnya (periode tadwin) belum berhasil memisahkan beberapa hadist yang mawqufdan maqthu dari hadist yang marfu’. Demikian juga, belum bisa memisahkan hadist-hadist yang dha’if dari yang shahih. Bahkan masih ada hadist yang mawdhu’ yang tercampur dengan yang shahih.
Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadist yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, para ulama berhasil memisahkan hadist-hadist yang dha’if dari hadist-hadist shahih, yang mawquf dan maqtu’ dari yang marfu’, meskipun dari penelitian beriktnya masih ditemukan hadist-hadist yang dha’if pada kitab Shahih karya mereka.




DAFTAR PUSTAKA

Alfatih M Suryadilaga, dkk. 2010.Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras.
Octoberrinsyah. 2005. Al- Hadis. Yogyakarta  : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
MGMP TIM. 2011. Ilmu Hadis. Yogyakarta : Kantor Kementrian Agama Provsinsi Yogyakarta
Smeer Zaid.2008.Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang: UIN Malang Press.
Zuhri M. 2003. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana.



[1][1] Alfatih          Suryadilaga, Ulumul Hadis,(Yogyakarta : Penerbit Teras, 2010), hlm.21
[2][3]Zaid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 19.
[3][4]Ibid, hlm. 19-24.
[4][5]Ibid., hlm. 25-27.
[5][6] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis,cet. I, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 87-89.
[6][7]Ibid., hlm. 89-90.
[7][8]TIM MGMP, Ilmu Hadis, (Yogyakarta :Kantor Kementrian Agama Provsinsi Yogyakarta), hlm. 194.
[8][9]Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 61-62.

 

This post have 0 comments

Next article Next Post
Previous article Previous Post