MUNASABAH
AL-QUR'AN
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas
mandiri pada mata kuliyah
Studi
Al-Qur'an
Oleh
Abdul Gofur
Program Studi : Ilmu
Syari'ah
Konsentrasi : perbankan
ekonomi syariah
Syari'ah
Dosen Pengasuh
1.Dr.
mohamad nasih
, M.Ag
2.Ir. Wahab
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI DAN PERBANKAN
STEBANK ISLAM Mr.Sjarifuddin Prawira Negara
2017
M/ 1432 H
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah
kitab suci bagi semua umat manusia di dunia ini -yang diturunkan Allah SWT
dengan jalan mutawattir kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjazat
kerasulannya, yang berisi Wahyu Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia
kearah yang terang dan jalan yang lurus- agar manusia beriman kepada Allah SWT
sebagai pencipta Alam semesta sehingga mustahil untuk meyakini tuhan
selain-Nya, juga meyakini bahwa Allah SWT mengutus seorang rasul untuk
menjelaskan pesan yang terkandung dalam wahyu-Nya tersebut sehingga tidak ada
yang umat yang mempertanyakan apakah petunjuk Allah telah datang sehingga kami
mendapat siksa? dan sesunguhnya Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. [1]
Setelah wahyu
Allah turun ke bumi maka kewajiban manusia tidak lain hanyalah ingat (Dzikr)
bahwa penciptaan mereka tidaklah sia-sia, tetapi telah di-skenario-i
langsung oleh sang maha pencipta yaitu Allah SWT yang mengatur segala urusan di
langit dan di bumi, mewajibkan taat terhadap segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya dengan ditauladani langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
Setiap ayat yang turun Nabi SAW langsung menjelaskan kandungannya, dan setiap
peristiwa mendapatkan jawaban dari wahyu yang turun kepadanya –sahabat bertanya
Nabi menjawab, tidak menurut hawa nafsunya tetapi apa yang diwahyukan Allah-
dan maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Memang benar ketika masa Nabi
SAW semua ketidaktahuan sahabat terhadap ayat Al-Qu’an bisa langsung ditanyakan
pada Nabi SAW tentang maksudnya, tetapi untuk masa setelah wafatnya Nabi SAW
tidak ada lagi penjelasan oleh nabi, hanya tinggal Hadits, khabar, Atsar yang
diyakini asli dari nabi yang dapat dijadikan rujukan. Seperti penjelasan
atau penafsiran Ayat Al-Qur’an dengan Hadits yang menerangkan Asbabun Nuzul mengenai
turunnya ayat tersebut, akan tetapi permasalahan selanjutnya timbul, bagaimana
dengan ayat yang tidak ada Asbabun Nuzulnya? Sebagian ulama memasukkan
sebuah ilmu yang termasuk dalam kategori ulumul qur’an yaitu Munasabah
Al-qur’an.
Lahirnya
pengetahuan tentang teori Munasabah (korelasi) ini tampaknya berawal
dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaiman terdapat dalam Mushaf
Usmanisekarang tidak berdasarkan atas fakta kronologis turunnya. Sehubungan
dengan ini, ulama salaf berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam Al-Qur’an. Segolongan dari
mereka berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW.
Golongan lain berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para
sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adlah tauqifi.
Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal [8] dan
Bara’ah/At-Taubah [9] yang dipandang bersifat ijtihadi.[2]
.
Pendapat pertama
didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakr dalam satu pendapatnya, Abu Bakr Ibn
Al-Anbari, Al-Kirmani dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik,
Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris, sedangkan
pendapat yang ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu perbedaan pendapat ini
adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang bervariasi dalam urutan suratnya. Ada yang menyusunnya
berdasarkan kronologis turunnya, seperti mushaf Ali yang dimulai dengan ayat
Iqra’, kemudian sisanya disusun berdasarkan tempat turunnya (Makki kemudian
Madani). Adapun mushaf Ibn Mas’ud dimulai dengan surat
Al-Baqarah [2], kemudian An-Nisaa’ [4], lalu surat Ali ‘Imron [3].[3]
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI MUNASABAH
Kata Munasabah secara etimologi,
menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya kedekatan[4]. Dalam pengertian ini
As-Suyuthi menambahkan al-Musyakalah dan Al-Muqabarah artinya
kedekatan dan keserupaan[5].
Az-Zarkasyi memberi contoh sebagai berikut : Fulan Yunasib Fulan, berarti
si Fulan mempunyai hubungan dekat dengan si fulan itu dan menyerupainya. Dan
dari kata itu lahir pula kata an-Nasib, berarti kerabat yang mempunyai
hubungan dekat seperti dua orang bersaudara. Istilah munasabah digunakan
dalam ‘iIlat hukum dalam bab Qiyas yang berarti Al-Wasf Al-Muqarib Li
Al-Hukm (gambaran/sifat yang berdekatan atau berhubungan dengan hukum.
Secara terminologi, pengertian Munasabah
dapat diartikan sebagai berikut menurut berbagai tokoh, yaitu:
1.
Menurut Az-Zarkasyi, adalah :
المـناسبة أمر معـقـولٌ إذاعُــِرِض عـلى الـمـقـول تـلـقّــتـه بــاالـقـبـُول.
Artinya
:
“Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala
dihadapkan kepada akal, akal itu pasti menerimanya”.
2.
Menurut Ibn Al-Arabi :
إرتـبــاط أ ِيّ الـقـرأن بعـضـها بـبـعـض حـتى تـكون كا الكـلمـة الـواحـدةِ مـتّـسقــةِ المعـاني مـنتـظـمـةِ المـبــــاني ,عـلمٌ عـظـيـــمٌ
Artinya :
“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat
Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan
makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”.
3.
Menurut Manna’ Khalil Qattan :
وجـهُ الإرتـبــاطِ بـين الجـمـلـةِ والجـمـلـةِ فى الأيـةِ الـواحــدة أوبـين الأيـة والأيــة فـي الأيــة الـمـتـعــددةِ أو بــينَ الســورة والســـورة.
Artinya :
“Munasabah adalah sisi keterikatan antara
beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat atau
antar surat
didalam Al-Qur’an”.
4.
Menurut Al-Biqa’i, yaitu :
“Munasabah
adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau
urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat”.
Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah
berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau
khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali)
; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan
perlawanan.[6]
Pada dasarnya pengetahuan tentang
munasabah atau hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi (tak dapat
diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi
seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an,
rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.[7]
Seperti halnya pengetahuan tentang Asbabun
Nuzul yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan
ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antar ayat dengan
ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam pentakwilan dan
pemahaman ayat dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama
menghususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini[8].
Tetapi dalam pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat tentang
sistematika (perbedaan urutan surat
dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori Munasabah Al-Qur’an kurang
mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum Al-Qur’an[9]
walaupun keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas oleh para
mufassir yang menganggap Al-Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan baik Redaksi
maupun pesan ilahi-Nya (Peny.)
Ilmu Munasabah ini dapat berperan
mengganti ilmu Asbabun Nuzul, apabila seseorang tidak dapat mengetahui
sebab turunnya suatu ayat, tapi seseorang dapat mengetahui relevansi / hubungan
ayat itu dengan ayat lainnya. Ada
beberapa pendapat di kalangan ulama tenteng
ilmu Tanasubul Ayat Was-Suwar ini. Diantanranya ada yang berpendapat,
bahwa setiap ayat atau surat selalu ada
relevansinya atau hubungannya dengan ayat atau surat lain. Sementara ulama yang lain
berpendapat, bahwa hubungan itu tidak selalu ada. Hanya memang sebagian
besar ayat-ayat dan surat-surat ada hubungannya satu sama lain. Selain itu
adapula yang berpendapat, bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan
ayat lain, tapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat
dengan surat
lain[10].
Hal yang demikian ini tidak berarti bahw seorang mufassir
harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, karena Al-Qur’anul Karim turun secar
bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu,
terkadang seorang mufassir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya
dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak
diperkenankan memaksakan diri, sebab jika memaksakannya juga akan menghasilkan
kesesuaian yang dibuat-buat dan hal ini tidak disukai, pernyataan ini
senada dengan pendapat Syaikh ‘Izz Ibn Abdus-Salam[11].
B.
MACAM-MACAM MUNASABAH
Dalam pembagian munasabah ini,
para ulama juga berbeda pendapat mengenai pengelompokkan munasabah
dan jumlahnya, hal ini dipengaruhi bagaimana seorang ulama tersebut
memandang suatu ayat, dari segi berbeda. Menurut Drs. H. A. Chaerudji Abd.
Chalik dalam ‘Ulum Al-Qur’an (Jakarta
: Diadit Media, 2007), munasabah dapat dilihat dari dua segi, antara
lain :
1.
Dilihat dari segi sifatnya, terbagi menjadi dua, yaitu :
1.
ظـاهـرالإرتــبــــاط (persesuaian yang nyata), atau persesuaian yang tampak jelas,
karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga yang
satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna bila dipisahkan dengan kalimat
lainnya, seolah-olah ayat tersebut merupakan satu kesatuan yang sama[12].
2.
الإرتــبــــاط
خــفـي (Persesuaian yang tidak jelas) atau
samarnya persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat lain, sehingga tidak
tampak adanya hubungan antara keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing
ayat/surat itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu di’Athafkan
kepada yang lain, maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain[13].
2.
Dilihat dari segi materinya[14],
yaitu :
1.
Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara
ayat yang satu dengan ayat yang lain, berbentuk persambungan-persambungan ayat,
meliputi, pertama diathafkan ayat yang satu kepada ayat yang lain, kedua
tidak di’athafkan, ketiga Digabungkannya dua hal yang sama, keempat dikumpulkannya
dua hal yang kontradiksi, kelima Dipindahkannya satu pembicaraan
kepembicaraan yang lain.
2. Munasabah
antar surat, yaitu munasabah atau
persambungan antara surat yang satu dengan surat yang lain. Meliputi
: pertama kesamaan materi pada dua surat
yang berbeda namun salah satu darinya bersifat umum dan satunya khusus dan
terperinci, kedua persesuaian permulaan surat
dengan penutup surat sebelumya, ketiga persesuaian
pembukaan surat dan akhir ayat suatu surat.
Dalam pembahasan ini juga Manna’ Khalil
Qattan bependapat bahwa apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteknya
dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa arab, maka
korelasi tersebut dapat diterima. Menurutnya munasabah terbagi kedalam
tiga kategori, yaitu:
- Munasabah terletak pada perhatiannya terhadap keadaan lawan bicara, seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Ghasyiyah ayat17 – 20,
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit,
bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bmi
bagaimana ia dihamparkan”.(QS. Al-Ghasyiyah :17 – 20)
Penggabungan Unta, Langit, Gunung-gunung
dan bumi berkaitan erat dengan adat dan kebiasaan hidup yang berlaku di
kalangan lawan bicara yang tinggal di padang
pasir, dimana kehidupan mereka bergantung pada unta sehingga mereka amat
memperhatikannya. Namaun keadaan demikian pun tidak mungkin berlangsung kecuali
bila ada air yang dapat menumbuhkan rumput di tempat gembalaan dan diminum
unta. Keadaan ini terjadi bila hujan turun, dan inilah yang menjadi sebab
mengapa wajah mereka selalu menengadah ke langit. Kemudian mereka juga
membutuhkan tempat berlindung, dan tidak ada tempat berlindung yang lebih baik
dari pada gunung-gunung. Mereka memerlukan rerumputan dan air, sehingga
meninggalkan suatu daerah dan turun ke daerah lain, dan berpindah dari tempat
gembala yang tandus menuju tempat gembala yang subur. Maka apabila penghuni padang pasir mendengar
ayat-ayat diatas, hati mereka merasa menyatu dengan apa yang mereka saksikan
sendiri yang senantiasa tidak lepas dari benak mereka.
- Munasabah antara saatu surat dengan surat yang lain, misalnya pembukaan surat Al-Hadid yang diawali dengan Tasbih :
سـبّـح للّـه مـا فـى الـسـمـا وات والأرض و هـو الــعـــزيــز الـــحــكـيـم.
“Semua
yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah, dan Dialah yang
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (Al-Hadid [57] : 1)
Pembukaan
surat ini sesuai dengan akhir surat sebelumnya – Al-Waqi’ah- yang
memerintahkan bertasbih :
فـسـبّـحْ بـاسـم ربــّك الـعـظـيـمِ.
“Maka
bertasbihlah dengan menyebut Nama Tuhammu yang Mahabesar”. (Al-Waqi’ah
[56]: 96)
Demikian juga hubungan antara surat Quraisy dengan surat
Al-Fiil. Ini karena kebinasaan tentara gajah, mengakibatkan orang
Quraisy dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan musim panas, sehingga
Al-Akhfasy menyatakan bahwa hubungan antara kedua surat tersebut termasuk
hubungan sebab akibat, seperti dalam firman Allah SWT : “Maka dipungutlah ia
(Musa) oleh keluarga fir’aun yang akibatnya ia menjadi musuh dan kesedihan bagi
mereka”.(QS. Al-Qashash [28] :
- Munasabah antara awal surat dengan akhir surat. Misalnya, apa yang terdapat dalam surat Al-Qashash [28]. Surat ini dimulai dengan menceritakan nabi Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya, kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki yang sedang berkelahi. Kemudian Musa berdo’a ” Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa”[15]. Kemudian surat ini diakhiri dengan menghibur Nabi Muhammad SAW, bahwa ia akan keluar dari Mekah dan dijanjikan akan kembali lagi ke Mekah, serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang kafir[16].
C.
URGENSI DAN KEGUNAAN MEMPELAJARI
MUNASABAH
Sebagaimana Asbabun Nuzul, Munasabah dapat
berperan dalam memahami Al-Qur’an. Muhammad Abdullah Darraz berkata :
”Sekalipun permasalahan yang diungkapkan oleh surat-surat itu banyak, semuanya
merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan.
Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surat semestinyalah ia memperhatikan
keseluruhannya, sebagaimana juga memperhatikan permasalahannya”.[17]
Maka,
dalam mempelajari Munasabah ini banyak sekali terkandung Faedah dan
kegunaannya, sebagaimana diuraikan dibawah ini :
1.
Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa
tema-tema Al-Qur’an kehilangan Relevansi antara satu bagian dan bagian yang
lainnya.[18]
2.
Mengetahui persambungan /hubungan antara bagian
Al-Quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan
dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan
dan kemukjizatannya.(Abdul Djalal, H.A, 1998: 165).[19]
3.
Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an. Bila tidak ditemukan Asbabun Nuzilnya. Setelah diketahui hubungan
suatu kalimat atau suatu ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, dimungkinkan
seseorang akan mudah mengistimbathkan hukum-hukum atau isi kandungannya.[20]
4.
Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan
bahasa, (mutu dan tingkat balaghah Al-Qur’an )-peny-. serta dapat membantu
dalam memahami keutuhan makna Al-Qur’an itu sendiri.[21]
Selain kaguanaan mempelajari munasabah
dianggap penting, maka seseorang yang ingin menemukan korelasi/hubungan
antar ayat atau antar surat,
sangat diperlukan kejernihan rohani dan rasio, agar terhindar dari kesalahan
penafsiran (Muhammad Chirzin, 1998 : 58)[22].
Serta membaca secara cermat kitab-kitab tafsir tentu akan membantu menemukan
berbagai segi kesesuaian (munasabah) tersebut.[23]
BAB
III
KESIMPULAN
Munasabah
secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya
kedekatan. Dalam konteks
‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat
atau antar surat,
baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy),
atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat,
‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan
Pembagian
munasabah:
A.
Dilihat dari segi sifatnya, terbagi menjadi dua, yaitu :
1.
ظـاهـرالإرتــبــــاط (persesuaian yang nyata), atau persesuaian yang tampak
jelas,
2.
الإرتــبــــاط
خــفـي (Persesuaian yang tidak jelas) atau
samarnya
B. Dilihat dari segi materinya, yaitu
:
1.
Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara
ayat yang satu dengan
ayat yang lain
2. Munasabah
antar surat, yaitu munasabah atau
persambungan antara surat yang satu dengan surat yang lain.
Dalam mempelajari Munasabah ini
banyak sekali terkandung Faedah dan kegunaannya, sebagaimana diuraikan dibawah
ini :
1.
Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa
tema-tema Al-Qur’an kehilangan Relevansi antara satu bagian dan bagian yang
lainnya
2.
Mengetahui persambungan /hubungan antara bagian
Al-Quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan
dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga memperkuat keyakinan terhadap
kewahyuan dan kemukjizatannya
3.
Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an. Bila tidak ditemukan Asbabun Nuzilnya. Setelah diketahui hubungan
suatu kalimat atau suatu ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, dimungkinkan
seseorang akan mudah mengistimbathkan hukum-hukum atau isi kandungannya
4.
Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan
bahasa, (mutu dan tingkat balaghah Al-Qur’an )- serta dapat membantu dalam
memahami keutuhan makna Al-Qur’an itu sendiri
END NOTE
[1] Makalah ini disampaikan sebagai
bahan diskusi kelompok pada mata kuliah Studi Qur’an, yang disusun oleh Agus
Taufikur rohman jurusan Hukum perdata
syari'ah semester I tahun ajaran 2011-2012 Pascasarjana IAIN Raden intan
lampung
[3] Ibid. mengutip Jalaluddin As-Suyuthi,
Asrar Tartib Al-Qur’an,
(Kairo : Daar Al-I’tisham), hal. 68-69.
[4] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
(terj. Mabahis Fi
‘Ulumil Qur’an oleh Mudzakir
AS, Bogor
: Litera Antar Nusa, 2009), Cet. 12, hal. 137.
[5] Dr. Rosihan Anwar, Op Cit, hal.
82. mengutip dari jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulumil Qur’an, Daar
Al-Fikr, Beirut,
t.t, Jilid I, hal. 108.
[6] Dr. Rosihan Anwar, Op Cit, hal.
83. dikutip dari Muhammad bin ‘Alawi Al-Makki Al-Husni, Mutiara Ilmu-Ilmu Qur’an, terj,
Rosihan Anwar (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hal. 305
[8] Ulama yang pertama kali
menekuni dan menaruh perhatian pada masalah ini, menurut As-Suyuthi, adalah
Syaikh Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian disusul beberapa ahli tafsir
seperti Abu Ja’far bin Jubair dalam kitabnya Tartib Suwaril Qur’an. Dan
Syaikh Burhanudin Al-Biqa’i mengarang kitab yang diberi judul Nudzumud Durar fi Tanasubil Ayat
was-Suwar. Naskah kitab ini terdapat di Darul
Kutub Al-Misriyyah dalam bentuk manuskrip. As-Suyuti sendiri dalam kitabnya Asrar Al-Tartib Al-Qur’an.
Diantara ulama lain yang menulis dalam bidang ini adalah Abu Ja’far Ahmad bin
Ibrahim Ibn Zubair Al-Andalusi An-Nahwi Al-Hafiz yang wafat pada 807 H.
kitabnya berjudul Al-Burhan
Fi Minasabati Tartibi Suwari Qur’an. Dalam
konteks ini, tafsir Al-Kabir
yang ditulis oleh Fakhru Razi merupakan sebuah kitab tafsir yang banyak
mengemukakan sisi Munasabah
dalam Al-Qur’an.
[11] Nama lengkapnya ialah Abdul ‘Aziz
bin Abdus-Salam, terkenal dengan nama Al-’Izz, seorang ulama, mujahid dan ahli Wara’ wafat
660 H. dikutip dari Manna’ Khalil Qattan, Op it, hal. 139.
[12] Cermati surat Al-Isra’ ayat 1 dan
2, munasabah dalam kedua ayat tersebut tampak jelas, yaitu kedua-duanya Nabi
Muhammad dan Nabi musa diangkat oleh Allah SWT sebagai nabi dan Rasul, dan
keduanya diIsra’kan. Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, sedang
Nabi Musa dari Mesir, ketika ia keluar dari negeri tersebut dalam keadaan
ketakutan menuju Madyan.
[13] Lihat surat Al-Baqarah ayat 189 dan 190. munasabahnya ialah
ketika waktu haji umat islam dilarang perang, tetapi jika umat islam diserang
lebih dulu, maka serangan musuh itu harus dibalas, walupun pada musim haji.
[17] Dr. Rosihan Anwar, Op Cit, hal.
96. mengutip dari Abdullah Ad-Darraz, An-Naba’ Al-’Adzim, (Mesir
: Dar Al-’Urubah, 1974), hal. 159.
DAFTAR
PUSTAKA
Chalik,
Drs. H.A. Chaerudji Abd., ‘Ulum
Al-qur’an, Jakarta
: Diadit Media, 2007.
Anwar,
Dr. Rosihan, Ulum Al-Qur’an, Bandung
: Pustaka Setia, 2008, cet. I.
Al-Qattan,
Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an (terj. Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an oleh
Drs. Mudzakir AS, Bogor
: Litera Antar Nusa, 2009).
Ichwan,
Muhammad Nor, Memasuki Dunia
Al-Qur’an, Semarang
: Lubuk Raya, 2001.
This post have 0 comments