-->

Berita Harian

PENGUNJUNG

https://www.idblanter.com https://www.idblanter.com
https://www.idblanter.com
BERITA TERPOPULER TERPERCAYA DAN TERUPDATE MASA KINI
AYO DUKUNG MEDIA KAMI DAN DAPATKAN BERITA TERBARU YANG TERUPDATE, TERBAIK, TERHEBAT DAN TENTUNYA MEDIA TERPERCAYA ZAMAN NOW

Advertisement

iklan banner

Pages - Menu

Tuesday, 21 November 2017

MUNASABAH AL-QUR'AN
MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas
 mandiri pada mata kuliyah
Studi Al-Qur'an
Oleh
Abdul Gofur
Program Studi : Ilmu Syari'ah
Konsentrasi : perbankan ekonomi syariah Syari'ah

    


Dosen  Pengasuh                                                    
1.Dr. mohamad nasih , M.Ag
            2.Ir. Wahab

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI DAN PERBANKAN
STEBANK ISLAM Mr.Sjarifuddin Prawira Negara
2017 M/ 1432 H




BAB I
PENDAHULUAN
           
Al-Qur’an adalah kitab suci bagi semua umat manusia di dunia ini -yang diturunkan Allah SWT dengan jalan mutawattir kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjazat kerasulannya, yang berisi Wahyu Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia kearah yang terang dan jalan yang lurus- agar manusia beriman kepada Allah SWT sebagai pencipta Alam semesta sehingga mustahil untuk meyakini tuhan selain-Nya, juga meyakini bahwa Allah SWT mengutus seorang rasul untuk menjelaskan pesan yang terkandung dalam wahyu-Nya tersebut sehingga tidak ada yang umat yang mempertanyakan apakah petunjuk Allah telah datang sehingga kami mendapat siksa? dan sesunguhnya Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. [1]
Setelah wahyu Allah turun ke bumi maka kewajiban manusia tidak lain hanyalah ingat (Dzikr) bahwa penciptaan mereka tidaklah sia-sia, tetapi telah di-skenario-i langsung oleh sang maha pencipta yaitu Allah SWT yang mengatur segala urusan di langit dan di bumi, mewajibkan taat terhadap segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan ditauladani langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Setiap ayat yang turun Nabi SAW langsung menjelaskan kandungannya, dan setiap peristiwa mendapatkan jawaban dari wahyu yang turun kepadanya –sahabat bertanya Nabi menjawab, tidak menurut hawa nafsunya tetapi apa yang diwahyukan Allah- dan maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Memang benar ketika masa Nabi SAW semua ketidaktahuan sahabat terhadap ayat Al-Qu’an bisa langsung ditanyakan pada Nabi SAW tentang maksudnya, tetapi untuk masa setelah wafatnya Nabi SAW tidak ada lagi penjelasan oleh nabi, hanya tinggal Hadits, khabar, Atsar yang diyakini asli dari nabi yang dapat dijadikan rujukan. Seperti penjelasan  atau penafsiran Ayat Al-Qur’an dengan Hadits yang menerangkan Asbabun Nuzul mengenai turunnya ayat tersebut, akan tetapi permasalahan selanjutnya timbul, bagaimana dengan ayat yang tidak ada Asbabun Nuzulnya? Sebagian ulama memasukkan sebuah ilmu yang termasuk dalam kategori ulumul qur’an yaitu Munasabah Al-qur’an.
Lahirnya pengetahuan tentang teori Munasabah (korelasi) ini tampaknya berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaiman terdapat dalam Mushaf Usmanisekarang tidak berdasarkan atas fakta kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini, ulama salaf berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam Al-Qur’an. Segolongan dari mereka berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan lain berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adlah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal [8] dan Bara’ah/At-Taubah [9] yang dipandang bersifat ijtihadi.[2] .
Pendapat pertama didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakr dalam satu pendapatnya, Abu Bakr Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris, sedangkan pendapat yang ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu perbedaan pendapat ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang bervariasi dalam urutan suratnya. Ada yang menyusunnya berdasarkan kronologis turunnya, seperti mushaf Ali yang dimulai dengan ayat Iqra’, kemudian sisanya disusun berdasarkan tempat turunnya (Makki kemudian Madani). Adapun mushaf Ibn Mas’ud dimulai dengan surat Al-Baqarah [2], kemudian An-Nisaa’ [4], lalu surat Ali ‘Imron [3].[3]










BAB II
PEMBAHASAN

A.        DEFINISI MUNASABAH

Kata Munasabah secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya kedekatan[4]. Dalam pengertian ini As-Suyuthi menambahkan al-Musyakalah dan Al-Muqabarah artinya kedekatan dan keserupaan[5]. Az-Zarkasyi memberi contoh sebagai berikut : Fulan Yunasib Fulan, berarti si Fulan mempunyai hubungan dekat dengan si fulan itu dan menyerupainya. Dan dari kata itu lahir pula kata an-Nasib, berarti kerabat yang mempunyai hubungan dekat seperti dua orang bersaudara. Istilah munasabah digunakan dalam ‘iIlat hukum dalam bab Qiyas yang berarti Al-Wasf Al-Muqarib Li Al-Hukm (gambaran/sifat yang berdekatan atau berhubungan dengan hukum.

Secara terminologi, pengertian Munasabah dapat diartikan sebagai berikut menurut berbagai tokoh, yaitu:
1.          Menurut Az-Zarkasyi, adalah :

المـناسبة أمر معـقـولٌ إذاعُــِرِض عـلى  الـمـقـول تـلـقّــتـه بــاالـقـبـُول.
Artinya :
“Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan kepada akal, akal itu pasti menerimanya”.
2.          Menurut Ibn Al-Arabi :

إرتـبــاط أ ِيّ الـقـرأن بعـضـها بـبـعـض حـتى تـكون كا الكـلمـة الـواحـدةِ مـتّـسقــةِ المعـاني مـنتـظـمـةِ المـبــــاني ,عـلمٌ عـظـيـــمٌ
Artinya :
“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”.
3.          Menurut Manna’ Khalil Qattan :

وجـهُ الإرتـبــاطِ بـين الجـمـلـةِ والجـمـلـةِ فى الأيـةِ الـواحــدة أوبـين الأيـة والأيــة فـي الأيــة الـمـتـعــددةِ أو بــينَ الســورة والســـورة.
 Artinya :
“Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat didalam Al-Qur’an”.



4.          Menurut Al-Biqa’i, yaitu :
“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat  dengan ayat, atau surat dengan surat”.

Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.[6]
Pada dasarnya pengetahuan tentang munasabah atau hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.[7]

Seperti halnya pengetahuan tentang Asbabun Nuzul  yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antar ayat dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat  dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama menghususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini[8]. Tetapi dalam pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika (perbedaan urutan surat dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori Munasabah Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum Al-Qur’an[9] walaupun keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas oleh para mufassir yang menganggap Al-Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan baik Redaksi maupun pesan ilahi-Nya (Peny.)

Ilmu Munasabah ini dapat berperan mengganti ilmu Asbabun Nuzul, apabila seseorang tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tapi seseorang dapat mengetahui relevansi / hubungan ayat itu dengan ayat lainnya. Ada  beberapa pendapat    di kalangan ulama   tenteng ilmu Tanasubul Ayat Was-Suwar ini. Diantanranya ada yang berpendapat, bahwa setiap ayat atau surat selalu ada relevansinya atau hubungannya dengan ayat atau surat lain. Sementara ulama yang lain berpendapat, bahwa hubungan itu tidak selalu ada. Hanya memang sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat ada hubungannya satu sama lain. Selain itu adapula yang berpendapat, bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat dengan surat lain[10]. Hal yang    demikian ini tidak berarti bahw seorang mufassir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, karena Al-Qur’anul Karim turun secar bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, terkadang seorang mufassir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri, sebab jika memaksakannya juga akan menghasilkan kesesuaian yang dibuat-buat dan hal ini tidak disukai,  pernyataan ini  senada  dengan  pendapat Syaikh ‘Izz Ibn Abdus-Salam[11].



B.      MACAM-MACAM MUNASABAH

Dalam pembagian munasabah ini, para ulama juga berbeda pendapat mengenai pengelompokkan munasabah dan jumlahnya, hal ini dipengaruhi bagaimana seorang ulama tersebut memandang suatu ayat, dari segi berbeda. Menurut Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik dalam ‘Ulum Al-Qur’an (Jakarta : Diadit Media, 2007), munasabah dapat dilihat dari dua segi, antara lain :


1. Dilihat dari segi sifatnya, terbagi menjadi dua, yaitu :
1.   ظـاهـرالإرتــبــــاط (persesuaian yang nyata), atau persesuaian yang tampak jelas, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna bila dipisahkan dengan kalimat lainnya, seolah-olah ayat tersebut merupakan satu kesatuan yang sama[12].
2.   الإرتــبــــاط خــفـي (Persesuaian yang tidak jelas) atau samarnya persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat lain, sehingga tidak tampak adanya hubungan antara keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surat itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu di’Athafkan kepada yang lain, maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain[13].

2. Dilihat dari segi materinya[14], yaitu :
1.     Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, berbentuk persambungan-persambungan ayat, meliputi, pertama diathafkan ayat yang satu kepada ayat yang lain, kedua tidak di’athafkan, ketiga Digabungkannya dua hal yang sama, keempat dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi, kelima Dipindahkannya satu pembicaraan kepembicaraan yang lain.
2.     Munasabah antar surat, yaitu munasabah atau persambungan antara surat yang satu dengan surat yang lain. Meliputi : pertama kesamaan materi pada dua surat yang berbeda namun salah satu darinya bersifat umum dan satunya khusus dan terperinci, kedua persesuaian permulaan surat dengan penutup surat sebelumya, ketiga  persesuaian pembukaan surat dan akhir ayat suatu surat.


Dalam pembahasan ini juga Manna’ Khalil Qattan bependapat bahwa apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteknya dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa arab, maka korelasi tersebut dapat diterima. Menurutnya munasabah terbagi kedalam tiga kategori, yaitu:

  1. Munasabah terletak pada perhatiannya terhadap keadaan lawan bicara, seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Ghasyiyah ayat17 – 20,



Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bmi bagaimana ia dihamparkan”.(QS. Al-Ghasyiyah :17 – 20)
Penggabungan Unta, Langit, Gunung-gunung dan bumi berkaitan erat dengan adat dan kebiasaan hidup yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, dimana kehidupan mereka bergantung pada unta sehingga mereka amat memperhatikannya. Namaun keadaan demikian pun tidak mungkin berlangsung kecuali bila ada air yang dapat menumbuhkan rumput di tempat gembalaan dan diminum unta. Keadaan ini terjadi bila hujan turun, dan inilah yang menjadi sebab mengapa wajah mereka selalu menengadah ke langit. Kemudian mereka juga membutuhkan tempat berlindung, dan tidak ada tempat berlindung yang lebih baik dari pada gunung-gunung. Mereka memerlukan rerumputan dan air, sehingga meninggalkan suatu daerah dan turun ke daerah lain, dan berpindah dari tempat gembala yang tandus menuju tempat gembala yang subur. Maka apabila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat diatas, hati mereka merasa menyatu dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang senantiasa tidak lepas dari benak mereka.
  1. Munasabah antara saatu surat dengan surat yang lain, misalnya pembukaan surat Al-Hadid yang diawali dengan ­Tasbih :

سـبّـح للّـه مـا فـى الـسـمـا وات  والأرض و هـو الــعـــزيــز الـــحــكـيـم.

Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah, dan Dialah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (Al-Hadid [57] : 1)


Pembukaan surat ini sesuai dengan akhir surat sebelumnya – Al-Waqi’ah- yang memerintahkan bertasbih :
فـسـبّـحْ بـاسـم ربــّك الـعـظـيـمِ.
Maka bertasbihlah dengan menyebut Nama Tuhammu yang Mahabesar”. (Al-Waqi’ah [56]: 96)
Demikian juga hubungan antara surat Quraisy dengan surat Al-Fiil. Ini karena kebinasaan tentara gajah, mengakibatkan orang Quraisy dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan musim panas, sehingga Al-Akhfasy menyatakan bahwa hubungan antara kedua surat tersebut termasuk hubungan sebab akibat, seperti dalam firman Allah SWT : “Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga fir’aun yang akibatnya ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka”.(QS. Al-Qashash [28] :

  1. Munasabah  antara awal surat dengan akhir surat. Misalnya, apa yang terdapat dalam surat Al-Qashash [28]. Surat ini dimulai dengan menceritakan nabi Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya, kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki yang sedang berkelahi. Kemudian Musa berdo’a ” Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa”[15]. Kemudian surat ini diakhiri dengan menghibur Nabi Muhammad SAW, bahwa ia akan keluar dari Mekah dan dijanjikan akan kembali lagi ke Mekah, serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang kafir[16].

C.           URGENSI DAN KEGUNAAN MEMPELAJARI MUNASABAH
Sebagaimana Asbabun Nuzul, Munasabah dapat berperan dalam memahami Al-Qur’an. Muhammad Abdullah Darraz berkata : ”Sekalipun permasalahan yang diungkapkan oleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surat semestinyalah ia memperhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memperhatikan permasalahannya”.[17]
Maka, dalam mempelajari Munasabah ini banyak sekali terkandung Faedah dan kegunaannya, sebagaimana diuraikan dibawah ini :
1.      Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan Relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.[18]
2.      Mengetahui persambungan /hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.(Abdul Djalal, H.A, 1998: 165).[19]
3.      Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bila tidak ditemukan Asbabun Nuzilnya. Setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau suatu ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, dimungkinkan seseorang akan  mudah mengistimbathkan hukum-hukum atau isi kandungannya.[20]
4.      Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa, (mutu dan tingkat balaghah Al-Qur’an )-peny-. serta dapat membantu dalam memahami keutuhan makna Al-Qur’an itu sendiri.[21]

Selain kaguanaan mempelajari munasabah dianggap penting, maka seseorang yang ingin menemukan korelasi/hubungan antar ayat atau antar surat, sangat diperlukan kejernihan rohani dan rasio, agar terhindar dari kesalahan penafsiran (Muhammad Chirzin, 1998 : 58)[22]. Serta membaca secara cermat kitab-kitab tafsir tentu akan membantu menemukan berbagai segi kesesuaian (munasabah) tersebut.[23]
















BAB III
KESIMPULAN

Munasabah secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya kedekatan. Dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan
Pembagian munasabah:
A. Dilihat dari segi sifatnya, terbagi menjadi dua, yaitu :
1.   ظـاهـرالإرتــبــــاط (persesuaian yang nyata), atau persesuaian yang  tampak jelas,
2.   الإرتــبــــاط خــفـي (Persesuaian yang tidak jelas) atau samarnya
B. Dilihat dari segi materinya, yaitu :
1.     Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara ayat yang satu  dengan ayat yang lain
2.     Munasabah antar surat, yaitu munasabah atau persambungan antara surat yang satu dengan surat yang lain.
Dalam mempelajari Munasabah ini banyak sekali terkandung Faedah dan kegunaannya, sebagaimana diuraikan dibawah ini :
1.      Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan Relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya
2.      Mengetahui persambungan /hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya
3.      Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bila tidak ditemukan Asbabun Nuzilnya. Setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau suatu ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, dimungkinkan seseorang akan  mudah mengistimbathkan hukum-hukum atau isi kandungannya
4.      Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa, (mutu dan tingkat balaghah Al-Qur’an )- serta dapat membantu dalam memahami keutuhan makna Al-Qur’an itu sendiri























END NOTE

[1]   Makalah ini disampaikan sebagai bahan diskusi kelompok pada mata kuliah Studi Qur’an, yang disusun oleh Agus Taufikur rohman  jurusan Hukum perdata syari'ah semester I tahun ajaran 2011-2012 Pascasarjana IAIN Raden intan lampung

[2]  Dr. Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hal. 81.
[3]  Ibid. mengutip Jalaluddin As-Suyuthi, Asrar Tartib Al-Qur’an, (Kairo : Daar Al-I’tisham), hal. 68-69.
[4]  Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (terj. Mabahis Fi ‘Ulumil Qur’an oleh Mudzakir AS, Bogor : Litera Antar Nusa, 2009), Cet. 12, hal. 137.
[5]  Dr. Rosihan Anwar, Op Cit, hal. 82. mengutip dari jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulumil Qur’an, Daar Al-Fikr, Beirut, t.t, Jilid I, hal. 108.
[6]  Dr. Rosihan Anwar, Op Cit, hal. 83. dikutip dari Muhammad bin ‘Alawi Al-Makki Al-Husni, Mutiara Ilmu-Ilmu Qur’an, terj, Rosihan Anwar (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hal. 305
[7]   Manna’ Khalil Al-Qattan, Op Cit, hal. 138.
[8]   Ulama yang pertama kali menekuni dan menaruh perhatian pada masalah ini, menurut As-Suyuthi, adalah Syaikh Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian disusul beberapa ahli tafsir seperti Abu Ja’far bin Jubair dalam kitabnya Tartib Suwaril Qur’an. Dan Syaikh Burhanudin Al-Biqa’i mengarang kitab yang diberi judul Nudzumud Durar fi Tanasubil Ayat was-Suwar. Naskah kitab ini terdapat di Darul Kutub Al-Misriyyah dalam bentuk manuskrip. As-Suyuti sendiri dalam kitabnya Asrar Al-Tartib Al-Qur’an. Diantara ulama lain yang menulis dalam bidang ini adalah Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim Ibn Zubair Al-Andalusi An-Nahwi Al-Hafiz yang wafat pada 807 H. kitabnya berjudul Al-Burhan Fi Minasabati Tartibi Suwari Qur’an. Dalam konteks ini, tafsir Al-Kabir yang ditulis oleh Fakhru Razi merupakan sebuah kitab tafsir yang banyak mengemukakan sisi Munasabah dalam Al-Qur’an.
[9]   Dr. Rosihan Anwar, Op Cit, hal. 81.
[10]   Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik, ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta : Diadit Media, 2007), hal. 110.
[11] Nama lengkapnya ialah Abdul ‘Aziz bin Abdus-Salam, terkenal dengan nama Al-’Izz, seorang ulama, mujahid dan ahli Wara’  wafat 660 H. dikutip dari Manna’ Khalil Qattan, Op it, hal. 139.
[12] Cermati surat Al-Isra’ ayat 1 dan 2, munasabah dalam kedua ayat tersebut tampak jelas, yaitu kedua-duanya Nabi Muhammad dan Nabi musa diangkat oleh Allah SWT sebagai nabi dan Rasul, dan keduanya diIsra’kan. Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, sedang Nabi Musa dari Mesir, ketika ia keluar dari negeri tersebut dalam keadaan ketakutan menuju Madyan.
[13]  Lihat surat Al-Baqarah ayat 189 dan 190. munasabahnya ialah ketika waktu haji umat islam dilarang perang, tetapi jika umat islam diserang lebih dulu, maka serangan musuh itu harus dibalas, walupun pada musim haji.
[14]  Lihat penjelasannya dalam buku Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik, Op Cit, hal 114.
[15]  Baca Surat Al-Qashash [28] ayat 17.
[16]  Baca juga surat Al-Qashash [28] ayat 85-86.
[17]  Dr. Rosihan Anwar, Op Cit, hal. 96. mengutip dari Abdullah Ad-Darraz, An-Naba’  Al-’Adzim, (Mesir : Dar Al-’Urubah, 1974), hal. 159.
[18]   Ibid.
[19]   Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik, Op Cit, hal. 122.
[20]   Ibid.
[21]   Op Cit, hal. 123.
[22]   Ibid.
[23]   Ibid.















DAFTAR PUSTAKA

Chalik, Drs. H.A. Chaerudji Abd., ‘Ulum Al-qur’an, Jakarta : Diadit Media, 2007.
Anwar, Dr. Rosihan, Ulum Al-Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2008, cet. I.
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (terj. Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an oleh Drs. Mudzakir AS, Bogor : Litera Antar Nusa, 2009).
Ichwan, Muhammad Nor, Memasuki Dunia Al-Qur’an, Semarang : Lubuk Raya, 2001.


 

This post have 0 comments

Next article Next Post
Previous article Previous Post