BAB II
PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan
dan perkembangan hadis periode Tabi’in
Pada masa abad ini disebut Masa
Pengodifikasian Hadis (al-jam’u wa at-tadwin). Khalifah Umar ibn Abdul Aziz
(99-101 H ), yang hidup pada akhir abad 1 H menganggap perlu adanya
penghimpunan dan pembukaan hadist, karena beliau khawatir lenyapnya
ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya para Ulama’, baik dikalangan Sahabat
maupunTabi’in. Oleh karena itu, beliau intruksikan kepada para gubernur di
seluruh wilayah negeri Islam agar para ulama’ dan ahli ilmu
menghimpun dan membukukan hadist.
اُنْظُرُوْا حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللَّهُ صلّى اللّه عليه وسلّم فأجْمعوهُ
Lihatlah hadis Rasulullah, kemudian
himpunlah ia.
Demikian juga surat Khalifah yang
dikirim kepada Ibnu Hazm (w. 117 H):
اُكْتُبْ اِلَيَّ بما يَثْبُتُ عِنْدَكَ منَ الْحَد يثِ عنْ رسسُوْلِ اللَّهِ صلّى اللّه عليه وسلّم فإِنىِ خَشِيتُ دُثرُوْسَ العلم وَذَهَابَ العُلَمَاءِ
Tulislah kepadaku apa yang tetap apadamu
dan hadis Rasulullah, sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya
pada ulama.[1]
Tidak diketahui secara pasti siapa
diantara ulama’ yang lebih dahulu dalam melaksanakan intruksi Khalifah
tersebut. Sebagian pendapat mengatakan Abu Bakar Muhammad Bin Amr Bin Hazm
sebagaimana bunyi teks diatas. Pendapat lain mengatakan Ar-Rabi Bin Sabih,
Sa’id Bin Ar-Rubah, dan Muhammad Bin Muslim Bin Asy-Syhab Az-Zuhri.
Namun, pendapat yang paling populer adalah Muhammad Bin Muslim Bin
Asy-Syihab Az-Zuhri, sedangkan Ibnu Hazm hanya menyampaikan intruksi Khalifah
keseluruh Negeri kekuasaan dan belum melakukan kodifikasi. Az-Zuhri dinilai
sebagai orang pertama dalam melaksanakan tugas pengodifikasian hadist dari
Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, dengan ungkapannya :
Kami diperintah Khalifah Umar Bin Abdul
Aziz menghimpun sunnah, kami telah melaksanakannya dari buku kebuku kemudian
dikirim ke setiap wilayah kekuasaan Khalifah satu buku.
Berdasarkan inilah para ahli sejarah dan
ulama’ berkesimpulan bahwa Ibnu Asy-Syhab Az-Zuhri orang pertama yang
mengodifikasikan hadis pada awal tahun 100 H dibawah Khalifan Umar Bin Abdul
Aziz. Maksudnya di sini, orang yang paling awal menghimpun hadis dalam bentuk
formal atas intruksi dari seorang Khalifah dan ditulis secara menyeluruh,
karena tentunya penghimpunan telah dimulai sejak masa Rosulullah dikalangan
para sahabat dan tabi’in, namun belum menyeluruh, dan bukan berdasarkan
instruksi seorang Khalifah.[2]
Kemudian aktivitas penghimpunan dan pengodifikasian hadis tersebar
diberbagai negeri Islam pada abad ke 2 H, diantaranya Abdullah bin Abdul Aziz
bin Juraij (w. 150 H) di Mekah, Abdurahman Abu Amr Al-Auza’i (w. 156 H) di
Syria, Sufyan Ats-Tsauri (w. 161 H) di Kufah, Imam Malik bin Anas (w. 179 H) di
Madinah, Ar-Rabi bin Shabih (w. 160 H) di Bashrah, dan lain-lain.
Penghimpunan hadis pada abad ini masih campur dengan
perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya
yang masih berbentuk shuhuf atau shahifah-shahifah yang
hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tertib pada
masa ini sudah dihimpun per bab. Materi hadisnya dihimpun
dari Shuhuf yang ditulis oleh para sahabat sebelumnya dan diperoleh
melalui periwayatan secara lisan, baik dari sahabat atau tabi’in.
Diantara buku-buku yang muncul pada masa
ini adalah sebagai berikut:
Ø Al-Muwathta’ yang ditulis Imam Malik.
Ø Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam
Ash-Shan’ani.
Ø As-Sunnah ditulis oleh Abd bin
Manshur.
Ø Al-Mushhannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah.
Ø Musnad Asy-Syafi’i.
Kitab-kitab hadis pada masa ini tidak
sampai kepada kita, kecuali diantaranya
Al-Muwathaha’ yang ditulis oleh Imam Malik
dan Musnad Asy-Syafi’i ditulis oleh Imam
Asy-Syafi’i.
Teknik pembukuan hadis pada periode ini
sebagaimana disebutkan pada nama-nama buku-buku tersebut, yaitu, Al-Mushannaf,
Al-Muwaththa’, dan Musnad.
Arti istilah-istilah ini adalah sebagai
berikut:
1. Al-Mushannaf secara
bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Adapun dalam istilah, yaitu
teknik pembukuan hadis yang didasarkan pada klasifikasi hukum fiqih dan di
dalamnya mencantumkan hadis marfu’, mawquf, dan maqthu’.
Misalnya,
Al-Mushannaf oleh Abdul-Razzaq bin
Hammam Ash-Shan’ani.
2. Al-Muwaththa’ secara bahasa diartikan sesuatu
yang dimudahkan. Adapun dalam istilah Al-Muwaththa’ diartikan
sama dengan Mushannaf, yaitu teknik pembukuan hadis yang didasarkan pada
klasifikasi hukum fiqih dan didalamnya mencantumkan hadis marfu’,
mawquf, dan maqthu’. Misalnya, Al-Muwaththa’ Imam Malik
(w. 179 H), dan Al-Muwaththa’ Ibnu
Dzi’ib Al-Marwazi (w. 158 H).
3. Musnad secara
bahasa artinya tempat sandaran, sedangkan dalam istilah adalah pembukuan hadis
yang didasarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut,
seperti Musnad Asy-Syafi’i. Berarti hadis-hadis yang dihimpun
Asy-Syafi’i, sistematiknya disandarkan atau didasarkan pada nama para sahabat
yang meriwayatkannya.
Tulisan-tulisan hadis pada masa awal
sangat penting sebagai dokumentasi ilmiyah dalam sejarah, sebagai bukti adanya
penulisan hadis sejak zaman Rasulullah, sampai dengan pada masa pengodifikasian
resmi dari Umar bin Abdul Aziz, bahkan sampai pada masa sekarang.
Pada masa ini, terdapat banyak perbedaan bila
dibanding masa sebelumnya. Ilmu hadis pada abad ini sudah mulai digunakan
dengan maksimal, sekalipun dalam batas persyaratan lisan dan belum terbukukan
secara sempurna.[3]
Selain itu, kondisi masyarakat juga
mengalami perubahan, khususnya yang terkait dengan periwayatan hadis. Perubahan
itu nampak dalam beberapa hal berikut :
a) Bila
zaman sahabat hafalan masih relatif kuat, pada masa ini kekuatan hafalan sudah
mulai memudar. Hal itu disebabkan oleh banyaknya para perowi hadis dari
kalangan sahabat yang berhijrah keluar jazirah Arabiyah dan menetap diluar
hingga kawin dan berketurunan disana. Masyarakat diluar jazirah Arabiyah tidak
memiliki tradisi menghafal layaknya masyarakat Arab.
b) Sanad
hadis mulai memanjang dan bercabang. Hal itu disebutkan juga berpencarnya para
perowi hadis ke daerah-daerah yang berjauhan, sehingga untuk mendapatkan sebuah
hadis harus melalui periwayatan beberapa perowi yang sekali lagi hal ini
menyebabkan sanad menjadi panjang yang pada giliranya berdampak pada kualitas
hadis.
c) Banyak
sekte bermunculan. Bermunculannya banyak sakte dan aliran yang menyimpang dari
jalur yang dianut oleh para sahabat berdampak pada keotentikan hadis. Munculnya
hadis-hadis palsu sebagianya juga disebabkan oleh faktor ini. Ada sekte khawarij,
mu’tazilah, jabariyah, dan lain sebagainya.
Kondisi yang memperhatinkan ini,
berdampak positif pada bangkitnya para ulama hadis untuk membentengi al-sunnah.
Babarapa inisiatif yang dilakukan oleh para ulama saat itu diantaranya :
1) Kodifikasi hadis secara
secara resmi
( التدوين الرسمي ) agar hadis tetap terjaga dari berbagai bentuk pemalsuan dan agar
tidak hilang, maka dilakukan usaha pembukuan. Inisiatif ini muncul dari khlifah
Umar bin Abdul Aziz yang saat itu merasa prihatin dengan wafatnya para
penghafal hadis sedangkan hadis belum semuanya tertulis.
Khalifah menulis surat perintah kepada
gurbenur saat itu Abu Bakar bin Hazm
(w. 120 H) untuk mengumpulkan
hadis-hadis yang masih berada dalam hafal para ulama yang tersebar dibanyak
penjuru kota. Untuk tugas ini, Muhammad bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H) ditunjuk
sebagai koordinator tim pengumpul hadis. Proses pengumpulan hadis seperti ini
yang kemudian diistilahkan dengan ilmu hadis riwayah.[4]
2) Al-jarh
wa ta’adil diberlakukan
untuk menyelesaikan hadis. Kualitas hafalan yang mulai melemah ditambah lagi
dengan munculnya sekte yang menyalahgunakan hadis sebagai alat legitimasi paham
mereka membangkitkan para ulama untuk lebih waspada dalam menerima hadis.
3) Merumuskan
kaidah-kadiah dan kreteria penerimaan hadis. Para perowi yang tidak dikenal
kepribadiannya dan tidak tergolong dalam kategori perowi yang berkompeten dalam
masalah hadis maka hadis mereka tidak diterima. Imam muslim dalam muqaddimahnya
meriwayatkan dari Abu Zanad, beliau berkata: “saya menjupai seratus orang di
Madinah semua terpercaya, namun saya tidak mengambil hadis mereka karena mereka
bukan orang yang ahli dalam maslah ini”.
Kaidah-kaidah dan ketentuan penerimaan
hadis ini sekalipun sudah mereka gunkan namun keberadaanya masih terdapat dalam
hafalan dan belum terbukukan dalam satu buku tersendiri, kecuali apa yang yang
ditulis oleh Imam Syafi’i dan terdapat dalam buku ushul fiqih
beliau al-risalah.[5]
B. Pertumbuhan
dan Perkembangan Hadis masa Tabi’ Tabi’in
Masa ini dikenal dengan istilah masa
keemasan, di mana ilmu hadis telah terbukukan sekalipun masih dalam bentuk yang
terpisah-pisah. Ilmu hadis sudah terklasifikasikan secara tersebdiri dan
menjadi satu disiplin ilmu yang independen. Disamping kitab yang berkaitan
dengan ilmu hadis, kitab-kitab hadis Nabi SAW juga marak ditulis.[6]
Di antara kitab-kitab yang ditulis saat
itu adalah kitab shahih Bukhari yang kemudian disusul dengan kitab-kitab sunan
(kecuali al-Nasa’i). Selain hadis, terdapat kitab yang berkaitan dengan
disiplin ilmu hadis, seperti kitab tarikh al-rijal karya Yahya bin
Mu’in
(234 H), al-Thabaqat karya Muhammad bin Saad (230
H), al-‘ilal wa ma’rifah karya imam Ahmad bin Hanbal (241) dan lain
sebagainya.
Periode tabi’ tabi’in, artinya
periode pengikut tabi’in, yaitu pada abad ke-3 H yang disebut ulama
dahul/salaf/mutaqaddimin. Sedangkan ulama abad berikutnya, abad ke-4 H dan
setelahnya disebut ulama belakangan/salaf/muta’akhirin. Pada periode ke-3
H ini disebut Masa Kejayaan Sunnah (Min ‘Ushur Al-Izdihar) atau disebut Masa Keemasan
Sunnah (Min Al-‘Ushur Adz-Dzahabiyah), karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan
sunnah serta pembukuannya
mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa. Seolah-olah pada periode ini
seluruh hadis telah terhimpun semuanya dan pada abad berikutnya tidak mengalami
perkembangan yang siknifikan. Maka lahirlah Buku induk Hadis Enam (Ummahat
Kutub As-Sittah), yaitu buku hadis sunan, Al-Jami’ Ash-Shahihyang
dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadis Musnad. Maksud Buku
Induk Hadis Enam ialah buku-buku hadis yang dijadikan pedoman dan refeensi para
ulama hadis berikutnya, yaitu sebagai berikut .[7]
Ø Al-Jami Ash-Shahih li
Al-Bukhari (194-256 H).
Ø Al-Jami’ Ash-Shahih li Muslim bin
Al-Hajjaj Al-Qusyayri (204-261 H).
Ø Sunan An-Nasa’i (215-303 H).
Ø Sunan Abu Dawud (202-276 H).
Ø Jami’ At-Tirmidzi (209-269 H).
Ø Sunan Ibnu Majah Al-Qazwini (209-276
H).
Sunan Ibnu Majah dalam urutan di atas masuk ke dalam
ranking ke-6 dari Buku Induk Hadis Enam, karena di dalamnya tidak murni hadis
shahih, ada kalanya shahih, hasan, dan dha’if. Pertama kali yang memasukan
kitab ke-6 dari buku induk adalah Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi (w. 507 H)
dalam bukunya Athraf Al-Kutub As-sittiah,kemudian diikuti oleh ulama-ulama
lain.
Periode ini masa yang paling sukses
dalam pembukuan hadis, sebab pada masa ini ulama hadis telah berhasil
memisahkan hadis Nabi SAW dari yang bukan hadis atau dari hadis Nabi dari
perkataan sahabat dan fatwanya dan telah berhasil pula mengadakan filterisasi
(penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan Nabi, sehingga telah
dapat dipisahkan mana hadis yang shahih dan mana yang bukan shahih.
Pada masa ini juga lahir
para huffadz dan para pembesar kritikus hadis sekalipun menghadapi
fitnah dan ujian (mihnah) dari kaum Mu’tazilah seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq
bin Rahawaih, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Abu Zar’ah, dan lain-lain.
Untuk menjawab tantangan dari ahli Kalam yang
menyerang matan dan sanad hadis dengan cercaan bahwa hadis
tidak layak dijadikan hujah dalam Islam, karena saling kontra antara satu
dengan yang lain. Ibnu Qutaibah (w. 234 H) menulis sebuah buku yang
berjudulTa’wil Mukhtalif Al-Hadits sebagai jawabannya. [8]
Sebagaian ulama pada periode ini juga
ada yang mengodifikasikan hadis berdasarkan nama periwayatan para sahabat yang
diperolehnya yang disebut dengan bentuk Musnad, seperti :
Ø Musnad Abu Dawud, Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi (w. 204
H);
Ø Musnad Abu Bakar, Abdulah bin
Az-Zubair Al-Humaidi (w. 219 H);
Ø Musnad Al-Imam ahmad bin Hanbal (w.
211 H);
Ø Musnad Abu Bakar, Ahmad bin Amar
Al-Bazzar (w. 292 H);
Ø Musand Abi Ya’la, Ahmad bin Ali
Al-Mutsanna Al-Mushili (w. 307 H).
Perkembangan pembukuan hadis pada
periode tabi’in ada 3 bentuk, yaitu sebagai bertikut :
1. Musnad, yaitu menghimpunsemua hadis dari
tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau topiknya, tidak per bab
seperti fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih, hasan dan dha’if. Misalnya
semua hadis Nabi yang diperoleh seorang periwayat melalui Abu Hurairah dikelompokkan
pada bab hadis-hadis Abu Hurairah, hadis-hadis yang didapatkan seorang
periwayat dari seorang sahabat Abdullah bin Abbas misalnya, dikelompokkan pada
bab hadis-hadis Abdullah bin Abbas, dan seterusnya. Kitab hadis yang disusun
secara musnad ini misalnya, Musnad Imam Ahmad bin
Hanbal (164-241 H) dan Musnad Ahmad bin Rahawaih (161-238 H).
2. Al-Jami’, yaitu tenik pembukuan hadis yang
mengakumulasikan sembilan masalah, yaitu,aqa’id, hukum, perbudakan
(riqaq), adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah. Sifat-sifat akhlak
(syama’il), fitnah (fitan), dan sejarah (manaqib). Misalnya kitab Al-Jami’
Ash-Shahih li Al-Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahih li Muslim, dan Jami’
At-Tirmidzi. Kualitas KitabAl-Bukhari dan Muslim shahih
semua sebagaimana nama kitab yang menyebutkan kataAsh-Shahih, sedangkan
kitab At-Tirmidzi sama dengan kitab Sunan ada yang shahih,
hasan, dan dha’if.
3. Sunan, teknik
penghimpunan hadis secara bab seperti fiqih, setiap bab memuat beberapa hadis
dalam satu topik, seperti Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu
Majah, dan Sunan Abu Dawud. Di dalam kitab ini ada yang shahih,
hasan, dan dha’if, tetapi tidak terlalu dha’if seperti hadis Munkar.[9]
C. Pusat
Pusat Pembinaan Hadis
Tercatat beberapa kota yang menjadi
pusat pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabi’in
dalam mencari hadis, yaitu ialah Madinah Al-Munawarah, Mekah Al-Mukaromah,
Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan. Dari
sejumlah para sahabat pembina hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang
yang tercatat meriwayatkan hadis cukup banyak, antara lain Abu Hurairah,
Abdullah bin Umar, Anas bin Malik,Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin
Abdillah, dan Sa’id Al-Khudzri.[10]
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah
karena di sinilah Rasulullah SAW. Menetap setelah hijrah. Di sini pula Rasulullah
SAW. Membina masyarakat Islam Yang terdiri
atas Muhajirin dan Anshar dari berbagai suku atau kabilah,
disamping umat non muslim seperti Yahudi yang dilindungi beliau. Para sahabat
yang menetap disini, diantara Khulafa Ar- Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah,
Abdullah bin Umar, dan Abu Sa’id Al-Khubair, Inu Syihab Az-Zuhri,
Ubaidullah bin Utsbah bin Mas’ud, dan Salim bin Abdullah bin Umar.
Di antara para sahabat yang membina
hadis di Mekah tercantum nama-nama, seperti Mu’adz bin Jabal, Atab bin Asid,
Haris bin Hisyam, Usman bin Thalhah, dan Uqbah bin Al-Haris. Diantara para
tabi’in yang muncul dari sini, tercatat nama-nama, seperti Mujahid bin Jabal
Ata’ bin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan, Ikrimah maula Ibnu Abbas.
Di antara para sahabat yang membina
hadis di Kufah ialah Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin abi Waqas, dan Abdullah bin
Mas’ud. Di antara para tabi’in yang muncul disini ialah Ar-rabi’ bin Qasim,
Kamal bin Zaid An-Nakha’i, Said bin Zubair Al-Asadi, Amir bin Sarahil
Asy-Sya’ibi, Ibrahim Ankha’i dan Abu Ishak As-Sa’bi.
Di antara para sahabat yang membina
hadis di Basrah ialah Amr bin Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain,
ma’qal bin Yasar, abdurrahman bin Samrah, dan Abu Sa’id Al-Anshari. Diantara
tabi’in yang muncul disini ialah Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Ayub
As-Sakhyatani, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Aun, Khatadah bin Du’amah
As-Sudusi, dan Hisyam bin Hasan.[11]
Di antara para sahabat yang membina
hadis di Syam ialah Abu Ubaidah Al-Jarh, Bilal bin Rabah, Ubadah bin Shamit,
Mu’adz bin jabal, Sa’ad bin Ubadah, Abu Darda Surahbil bin Hasanah, Khalid bin
Walid dan Iyad bin Ghanan. Para tabi’in yang muncul di sini, diantaranya ialah
Salim bin Abdillah Al-Muharibi, Abu Idris Al-Khaulani, Abu Sulaiman Ad-Darani,
danUmair bin Hana’i.
Para sahabat yang membina hadis di
Mesir, di antaranya ialah Amr bin Al-As, Uqbah bin Amr, Kharijah bin Huzafah,
dan Abdullah bin Al-Haris. Para tabi’in yang muncul disini, diantaranya ialah
Amr bin Al-Haris, Khair bin Nu’aimi Al-Hadrami, Yazid bin Abi Habib, Abdullah
bin Abi Jafar, dan Abudullah bin Sulaiman Ath-Thawil.[12]
Di Magrib dan Andalas, para sahabat yang
terjun dalam penyampaian hadis, di antaranya Mas’ud bin Al-Aswad Al-Balwi,
Bilal bin Haris bin Asim Al-Muzani, Salamah bin Al-Akwa, dan Walid bin Uqbah
bin Abi Muid. Kemudian para tabi’in yang muncul di sini ialah Zayad bin An-Am
Al-Mu’afil, Abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur,
Al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifa’ah bin
Ra’fi, dan Muslim bin Yasar.
Para sahabat yang terjun dalam
penyampaian hadis di Yaman, antara lain Muadz bin Jabal dan Abu Musa
Al-Asy’ari. Kedua orang sahabat ini telah dikirim kedaerah ini sejak Rasulullah
SAW, masih hidup. Para tabi’in yang muncul disini, di antaranya ialah Haman bin
Munabah dan Wahab bin Munabah, Tawus dan Mamar bin Rasid. Kemudian di Khurasan
para sahabat yang terjun dalam penyampaian hadis, antara lain Buraidah bin
Husai Al-Aslami dan Al-Hakam bin Amir Al-Gifari, Abdullah bin Qasim Al-Aslami,
dan Qasm bin Al-Abas. Para tabi’innya ialah Muhammad bin Ziyad, Muhammad bin
Sabit Al-Anshari, ali bin Sabit Al-Anshari, dan Yahya bin Sabih Al-Mugri.[13]
Smeer, B Zeid.2008.Ulumul
Hadis.Cet.1.Malang : UIN-Malang Press.
Khon, Abdul Majid.2012.Ulumul
Hadis.Ed.2.Jakarta:Imprint Bumi Aksara.
Mudasir .1999.Ilmu Hadis.Cet.1.Bandung:Pustaka
Setia.
[1]Abdul Majid Khon,
M.Ag, Ulumul Hadis, (Jakarta:
Imprint Bumi Aksara,2012),hal.59
[5]Ibid., hal 27
[7]Ibid., hal 62
[8]Ibid., hal 64
[11] Ibid., hal 102
[12] Ibid., hal 103
[13]Ibid., hal 109
Hadis Pada Masa Tabi’in Sebagaimana para sahabat, para
tabi‟in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadis. Hanya saja beban
mereka tidak terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para sahabat.
Pada masa ini al-Qur‟an sudak dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak
lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode khulafa
al-Rasyidin (pada masa Usman ibn Affan) para sahabat ahli hadis telah menyebar
ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi‟in
untuk mempelajari hadis-hadis dari mereka. Ketika pemerintahan dipegang oleh
Bani Umayah, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Makkah, Madinah, Bashrah,
Syam, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol.
Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam itu, penyebaran para
sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, yang berarti juga
meningkatnya penyebaran hadis. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa
menyebarnya periwayatan hadis.78 Hadis-hadis yang diterima oleh para tabi‟in
ini seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau
tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah
terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan
mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadis
pun yang tercecer atau terlupakan.79 Sebagaimana para sahabat dikalangan
tabi‟in juga melakukan dua hal, yaitu menghafal dan menulis hadis. Banyak
riwayat yang menunjukkan, betapa mereka memperhatikan kedua hal ini. Tentang
menghafal hadis, para ulama tabi‟in seperti, Ibn Abi Laila, Abu al-Aliyah, Ibn
Syihab az-Zuhri, Urwah ibn az-Zubair, dan alQalamah, adalah diantara
tokoh-tokoh terkemuka yang sangat menekankan pentingnya menghafal hadis-hadis
secara terus menerus. Kata az-Zuhri sebagaimana dikatakan al-Auza‟i :
“hilanglah ilmu itu karena lupa dan tidak mau mengingat-ingat atau
menghafalnya”. Kata Alqalamah, sebagaimana dikatakan Ibrahim, bahwa dengan
menghafal hadis, hadis-hadis akan terpelihara.80
78 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 61. 79Ibid., h. 62. 80 Al-Darimi, op.
cit., jilid I, h. 147 dan 150.
Tentang menulis hadis, di samping
melakukan hafalan secara teratur, di antara mereka juga menulis sebagian
hadis-hadis yang diterimanya. Selain itu, mereka juga memiliki catatan-catatan
atau surat-surat yang mereka terima langsung dari para sahabat sebagai gurunya.
81 Hadis pada masa Tabi’i al-Tabi’in. Masa tabi‟i al-tabi‟in dimulai dengan
berakhirnya masa tabi‟in, dan tabi‟in terakhir adalah tabi‟in yang bertemu
dengan sahabat yang meninggal paling akhir.82 An-Naisaburi menyatakan bahwa
tabi‟in yang terakhir adalah yang bertemu dengan Anas ibn Malik di Basrah,
dengan Abdullah ibn Abi Aufa di Kufah, dengan al-Sa‟ib ibn Yazid di Madinah,
dengan Abdullah ibn Haris ibn Jauz di Mesir, dengan Abu Umamah al-Bakili di
Syam,83 dan Abu Thufail Amir ibn Wailah al-Laisi.84 Sedangkam menurut „Ajjaj
al-Khatibi bahwa akhir masa tabi‟in yang merupakan awal masa tabi‟i al-tabi‟in
adalah tahun 150 H.85 pendapat ini berbeda dengan pendapat Subhi al-Shalih yang
menyatakan bahwa akhir dari masa tabi‟in adalah tahun 181 H, bersamaan dengan
meninggalnya Khalaf ibn Khalifah. Ia adalah tabi‟in yang terakhir karena ia
adalah tabi‟in yang bertemu dengan sahabat yang terakhir kali meninggal, yaitu
Abu Thufail Amir ibn Wailah.86 Adapun mengenai akhir masa tabi at-tabi‟in para
ulama bersepakat yaitu pada tahun 220 H.87 Cara periwayatan hadis pada tabi
al-tabi‟in adalah bi al-lafzi, yaitu dengan lafaz, karena kodifikasi hadis
dimulai pada akhir masa tabi‟in.88 kodifikasi pada masa ini telah menggunakan
metode yang sistematis, yakni dengan mengelompokkan hadis-hadis yang ada sesuai
dengan bidang bahasan masingmasing, walaupun masih bercampur antara hadis Nabi
dengan qaul sahabat dan tabi‟in. sebagaimana terdapat dalam al-Muwattha‟ Imam
Malik.89 Baru pada awal abad kedua hijriyah, dalam kodifikasinya, hadis sudah
dipisahkan dari qaul sahabat dan tabi‟in seperti Musnad Abu Dawud at-Thayalisi
(204 H).90 Selain dengan riwayah bi al-lafzi salah satu system penerimaan dan
periwayatan hadis yang muncul pada masa ini adalah system “isnad”. Maraknya
pemalsuan hadis pada akhir masa tabi‟in dan berlanjut pada masa sesudahnya
telah mendorong para ulama untuk meneliti keotentikan hadis yang salah satu
caranya
81 Utang Ranuwijaya, Op. Cit,h. 65.
82 Subhi as-Shalih, op. cit., h. 357. 83Ibid., h. 42 84Ibid., h. 43. Lihat juga
al-Suyuti, op.cit., h. 228. 85 M „Ajjaj al-Khatibi, op.cit, h. 411. 86 Subhi
al-Shalih, op.cit., h. 357 87Ibid., h. 358. M. Ajjaj al-Khatibi, op.cit., h.
411. 88 Muhammad Muhammad Abu Zahwi, op.cit., h. 200 ---90 Subhi
as-Shalih, op.cit., h. 48
adalah dengan meneliti
perawi-perawinya. Dari penelitian terhadap perawi hadis inilah kemudian muncul
sisitem “isnad” sebagaimana yang kita kenal saat ini. Akan tetapi, menurut Abu
Zahrah, sanad yang disampaikan pada masa tabi altabi‟in tidak selalu bersambung
kepada Rasulullah. Sehingga tabi‟in sering menyampaikan sebuah hadis dengan
tidak menyebut sahabat yang meriwayatkannya.91 Kodifikasi Hadis Secara Resmi
Kodifikasi atau tadwin hadis, artinya adalah pencatatan, penulisan, dan
pembukuan hadis. Secara individual, seperti diuraikan dalam pembahasan di atas,
pencatatan telah dilakukan oleh para sahabat sejak jaman Rasul saw. Akan tetapi
yang dimaksud dalam pembahasan disini, ialah kodifikasi secara resmi
berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli
dalam permasalah ini. Bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk
kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Ada suatu
dilema seputar penulisan dan pembukuan hadis, yaitu adanya suatu larangan
penulisan dari Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri :
“Janganlah kamu sekalian menulis apa yang kamu dengar dariku selain dari
al-Qur‟an, maka hapuskanlah”.92 Hadis ini memberikan gambaran kekhawatiran
Rasulullah akan penulisan hadis, karena akan terjadi suatu percampuran dengan
al-Qur‟an. Pada kesempatan lain ada riwayat yang menyatakan bahwa Rasul
mengizinkan para sahabat untuk menulis hadis, sebagaimana sabdanya : “Tulislah
apa yang kamu dengar dariku, demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak
keluar dari mulutku kecuali kebenaran.”93 Kebijakan Nabi tersebut telah
menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama bahkan para sahabat, tentang
boleh tidaknya penulisan hadis.94 Tetapi dalam sejarah ternyata banyak para
sahabat yang menulis hadis sebagai catatan pribadi, seperti Abdullah ibn Amr
Ibn Ash yang terkenal dengan nama alSahifah al-Sadiqah.95 Menurut Ahmad Amin
larangan menulis hadis hanya ketika turunnya ayat-ayat al-Qur‟an, karena
dikhawatirkan bercampur dengan al-Qur‟an.96 Dengan demikian boleh menulis hadis
dikala kekhawatiran itu hilang. Pada sisi lain, manakala situasi mengizinkan,
terutama ketika Islam tersebar luas, wilayah semakin melebar, bid‟ah menjadi-jadi,
sahabat tersebar ke berbagai wilayah, banyaknya sahabat yang gugur dalam
peperangan, melemahnya daya hafal sahabat, pada kondisi seperti inilah,
khalifah Umar ibn Abdul Aziz ,memiliki gagasan untuk membukukan hadis.97
91 Muhammad Abu Zahra, op.cit.,
juz. II, h. 43. 92 Imam al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), juz. 17-18, h. 129. 93 Ibn Hajar al-Asqalani,
Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, t.t.), juz. I, h. 168. 94 Ibnu Abdul
Barr, Jami al-Bayan Ilm wa Fadilah, (Beirut: dar al-Fikri, t.t.), juz I, h. 66.
95 Al-Hasani Abd al-Majid Hasyim, Ushul al-Hadis al-Nabawi, (Kairo: al-Qahirah
alHadisah Li al-Thaba‟ah, t.t.), h. 15. 96 Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Beirut:
Dar al-Kitab al-Arabi, 1969), h. 67.
This post have 0 comments