-->

Berita Harian

PENGUNJUNG

https://www.idblanter.com https://www.idblanter.com
https://www.idblanter.com
BERITA TERPOPULER TERPERCAYA DAN TERUPDATE MASA KINI
AYO DUKUNG MEDIA KAMI DAN DAPATKAN BERITA TERBARU YANG TERUPDATE, TERBAIK, TERHEBAT DAN TENTUNYA MEDIA TERPERCAYA ZAMAN NOW

Advertisement

iklan banner

Pages - Menu

Sunday, 19 November 2017


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pertumbuhan dan perkembangan hadis periode Tabi’in
Pada masa abad ini disebut Masa Pengodifikasian Hadis (al-jam’u wa at-tadwin). Khalifah Umar ibn Abdul Aziz (99-101 H ), yang hidup pada akhir  abad 1 H menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukaan hadist, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya para Ulama’, baik dikalangan Sahabat maupunTabi’in. Oleh karena itu, beliau intruksikan kepada para gubernur di seluruh wilayah negeri Islam agar para ulama’ dan  ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadist.
اُنْظُرُوْا حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللَّهُ صلّى اللّه عليه وسلّم فأجْمعوهُ   
Lihatlah hadis Rasulullah, kemudian himpunlah ia.       
Demikian juga surat Khalifah yang dikirim kepada Ibnu Hazm (w. 117 H):
اُكْتُبْ اِلَيَّ بما يَثْبُتُ عِنْدَكَ منَ الْحَد يثِ عنْ رسسُوْلِ اللَّهِ صلّى  اللّه عليه وسلّم فإِنىِ خَشِيتُ دُثرُوْسَ العلم وَذَهَابَ العُلَمَاءِ
Tulislah kepadaku apa yang tetap apadamu dan hadis Rasulullah, sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya pada ulama.[1]
Tidak diketahui secara pasti siapa diantara ulama’ yang lebih dahulu dalam melaksanakan intruksi Khalifah tersebut. Sebagian pendapat mengatakan Abu Bakar Muhammad Bin Amr Bin Hazm sebagaimana bunyi teks diatas. Pendapat lain mengatakan Ar-Rabi Bin Sabih, Sa’id Bin Ar-Rubah, dan Muhammad Bin Muslim Bin Asy-Syhab Az-Zuhri.
Namun, pendapat yang paling populer adalah Muhammad Bin Muslim Bin Asy-Syihab Az-Zuhri, sedangkan Ibnu Hazm hanya menyampaikan intruksi Khalifah keseluruh Negeri kekuasaan dan belum melakukan kodifikasi. Az-Zuhri dinilai sebagai orang pertama dalam melaksanakan tugas pengodifikasian hadist dari Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, dengan ungkapannya :
Kami diperintah Khalifah Umar Bin Abdul Aziz menghimpun sunnah, kami telah melaksanakannya dari buku kebuku kemudian dikirim ke setiap wilayah kekuasaan Khalifah satu buku.
Berdasarkan inilah para ahli sejarah dan ulama’ berkesimpulan bahwa Ibnu Asy-Syhab Az-Zuhri orang pertama yang mengodifikasikan hadis pada awal tahun 100 H dibawah Khalifan Umar Bin Abdul Aziz. Maksudnya di sini, orang yang paling awal menghimpun hadis dalam bentuk formal atas intruksi dari seorang Khalifah dan ditulis secara menyeluruh, karena tentunya penghimpunan telah dimulai sejak masa Rosulullah dikalangan para sahabat dan tabi’in, namun belum menyeluruh, dan bukan berdasarkan instruksi seorang Khalifah.[2]
Kemudian aktivitas penghimpunan dan pengodifikasian hadis tersebar diberbagai negeri Islam pada abad ke 2 H, diantaranya Abdullah bin Abdul Aziz bin Juraij (w. 150 H) di Mekah, Abdurahman Abu Amr Al-Auza’i (w. 156 H) di Syria, Sufyan Ats-Tsauri (w. 161 H) di Kufah, Imam Malik bin Anas (w. 179 H) di Madinah, Ar-Rabi bin Shabih (w. 160 H) di Bashrah, dan lain-lain.
            Penghimpunan hadis pada abad ini masih campur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yang masih berbentuk shuhuf atau shahifah-shahifah yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tertib pada masa ini sudah dihimpun per bab. Materi hadisnya dihimpun dari Shuhuf yang ditulis oleh para sahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan, baik dari sahabat atau tabi’in.
            Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah sebagai berikut:
Ø    Al-Muwathta’ yang ditulis Imam Malik.
Ø    Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani.
Ø    As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Manshur.
Ø    Al-Mushhannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah.
Ø    Musnad Asy-Syafi’i.
Kitab-kitab hadis pada masa ini tidak sampai kepada kita, kecuali diantaranya
Al-Muwathahayang ditulis oleh Imam Malik dan Musnad Asy-Syafi’i ditulis oleh Imam
Asy-Syafi’i.
Teknik pembukuan hadis pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama buku-buku tersebut, yaitu, Al-Mushannaf, Al-Muwaththa’, dan Musnad.
Arti istilah-istilah ini adalah sebagai berikut:
1.                  Al-Mushannaf secara bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Adapun dalam istilah, yaitu teknik pembukuan hadis yang didasarkan pada klasifikasi hukum fiqih dan di dalamnya mencantumkan hadis marfu’, mawquf, dan maqthu’. Misalnya,
Al-Mushannaf oleh Abdul-Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani.
2.                  Al-Muwaththa’ secara bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Adapun dalam istilah Al-Muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf, yaitu teknik pembukuan hadis yang didasarkan pada klasifikasi hukum fiqih dan didalamnya mencantumkan hadis marfu’, mawquf, dan maqthu’. Misalnya, Al-Muwaththa’ Imam Malik
(w. 179 H), dan Al-Muwaththa’ Ibnu Dzi’ib Al-Marwazi (w. 158 H).
3.                  Musnad secara bahasa artinya tempat sandaran, sedangkan dalam istilah adalah pembukuan hadis yang didasarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, seperti Musnad Asy-Syafi’i. Berarti hadis-hadis yang dihimpun Asy-Syafi’i, sistematiknya disandarkan atau didasarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkannya.

Tulisan-tulisan hadis pada masa awal sangat penting sebagai dokumentasi ilmiyah dalam sejarah, sebagai bukti adanya penulisan hadis sejak zaman Rasulullah, sampai dengan pada masa pengodifikasian resmi dari Umar bin Abdul Aziz, bahkan sampai pada masa sekarang.
            Pada masa ini, terdapat banyak perbedaan bila dibanding masa sebelumnya. Ilmu hadis pada abad ini sudah mulai digunakan dengan maksimal, sekalipun dalam batas persyaratan lisan dan belum terbukukan secara sempurna.[3]
Selain itu, kondisi masyarakat juga mengalami perubahan, khususnya yang terkait dengan periwayatan hadis. Perubahan itu nampak dalam beberapa hal berikut :
a)      Bila zaman sahabat hafalan masih relatif kuat, pada masa ini kekuatan hafalan sudah mulai memudar. Hal itu disebabkan oleh banyaknya para perowi hadis dari kalangan sahabat yang berhijrah keluar jazirah Arabiyah dan menetap diluar hingga kawin dan berketurunan disana. Masyarakat diluar jazirah Arabiyah tidak memiliki tradisi menghafal layaknya masyarakat Arab.
b)      Sanad hadis mulai memanjang dan bercabang. Hal itu disebutkan juga berpencarnya para perowi hadis ke daerah-daerah yang berjauhan, sehingga untuk mendapatkan sebuah hadis harus melalui periwayatan beberapa perowi yang sekali lagi hal ini menyebabkan sanad menjadi panjang yang pada giliranya berdampak pada kualitas hadis.
c)      Banyak sekte bermunculan. Bermunculannya banyak sakte dan aliran yang menyimpang dari jalur yang dianut oleh para sahabat berdampak pada keotentikan hadis. Munculnya hadis-hadis palsu sebagianya juga disebabkan oleh faktor ini. Ada sekte khawarij, mu’tazilah, jabariyah, dan lain sebagainya.
Kondisi yang memperhatinkan ini, berdampak positif pada bangkitnya para ulama hadis untuk membentengi al-sunnah. Babarapa inisiatif yang dilakukan oleh para ulama saat itu diantaranya :
1)      Kodifikasi hadis secara secara resmi
 التدوين الرسمي  ) agar hadis tetap terjaga dari berbagai bentuk pemalsuan dan agar tidak hilang, maka dilakukan usaha pembukuan. Inisiatif ini muncul dari khlifah Umar bin Abdul Aziz yang saat itu merasa prihatin dengan wafatnya para penghafal hadis sedangkan hadis belum semuanya tertulis.
Khalifah menulis surat perintah kepada gurbenur saat itu Abu Bakar bin Hazm
(w. 120 H) untuk mengumpulkan hadis-hadis yang masih berada dalam hafal para ulama yang tersebar dibanyak penjuru kota. Untuk tugas ini, Muhammad bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H) ditunjuk sebagai koordinator tim pengumpul hadis. Proses pengumpulan hadis seperti ini yang kemudian diistilahkan dengan ilmu hadis riwayah.[4]
2)      Al-jarh wa ta’adil diberlakukan untuk menyelesaikan hadis. Kualitas hafalan yang mulai melemah ditambah lagi dengan munculnya sekte yang menyalahgunakan hadis sebagai alat legitimasi paham mereka membangkitkan para ulama untuk lebih waspada dalam menerima hadis.
3)      Merumuskan kaidah-kadiah dan kreteria penerimaan hadis. Para perowi yang tidak dikenal kepribadiannya dan tidak tergolong dalam kategori perowi yang berkompeten dalam masalah hadis maka hadis mereka tidak diterima. Imam muslim dalam muqaddimahnya meriwayatkan dari Abu Zanad, beliau berkata: “saya menjupai seratus orang di Madinah semua terpercaya, namun saya tidak mengambil hadis mereka karena mereka bukan orang yang ahli dalam maslah ini”.
Kaidah-kaidah dan ketentuan penerimaan hadis ini sekalipun sudah mereka gunkan namun keberadaanya masih terdapat dalam hafalan dan belum terbukukan dalam satu buku tersendiri, kecuali apa yang yang ditulis oleh Imam Syafi’i dan terdapat dalam buku ushul fiqih beliau al-risalah.[5]
B.     Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis masa Tabi’ Tabi’in
Masa ini dikenal dengan istilah masa keemasan, di mana ilmu hadis telah terbukukan sekalipun masih dalam bentuk yang terpisah-pisah. Ilmu hadis sudah terklasifikasikan secara tersebdiri dan menjadi satu disiplin ilmu yang independen. Disamping kitab yang berkaitan dengan ilmu hadis, kitab-kitab hadis Nabi SAW juga marak ditulis.[6]
Di antara kitab-kitab yang ditulis saat itu adalah kitab shahih Bukhari yang kemudian disusul dengan kitab-kitab sunan (kecuali al-Nasa’i). Selain hadis, terdapat kitab yang berkaitan dengan disiplin ilmu hadis, seperti kitab tarikh al-rijal karya Yahya bin Mu’in
 (234 H), al-Thabaqat karya Muhammad bin Saad (230 H), al-‘ilal wa ma’rifah karya imam Ahmad bin Hanbal (241) dan lain sebagainya.
Periode tabi’ tabi’in, artinya periode pengikut tabi’in, yaitu pada abad ke-3 H yang disebut ulama dahul/salaf/mutaqaddimin. Sedangkan ulama abad berikutnya, abad ke-4 H dan setelahnya disebut ulama belakangan/salaf/muta’akhirin. Pada periode ke-3 H ini disebut Masa Kejayaan Sunnah (Min ‘Ushur Al-Izdihar) atau disebut Masa Keemasan Sunnah (Min Al-‘Ushur Adz-Dzahabiyah), karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunnah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa. Seolah-olah pada periode ini seluruh hadis telah terhimpun semuanya dan pada abad berikutnya tidak mengalami perkembangan yang siknifikan. Maka lahirlah Buku induk Hadis Enam (Ummahat Kutub As-Sittah), yaitu buku hadis sunan, Al-Jami’ Ash-Shahihyang dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadis Musnad. Maksud Buku Induk Hadis Enam ialah buku-buku hadis yang dijadikan pedoman dan refeensi para ulama hadis berikutnya, yaitu sebagai berikut .[7]
Ø    Al-Jami Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-256 H).
Ø    Al-Jami’ Ash-Shahih li Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyayri (204-261 H).
Ø    Sunan An-Nasa’i (215-303 H).
Ø    Sunan Abu Dawud (202-276 H).
Ø    Jami’ At-Tirmidzi (209-269 H).
Ø    Sunan Ibnu Majah Al-Qazwini (209-276 H).

Sunan Ibnu Majah dalam urutan di atas masuk ke dalam ranking ke-6 dari Buku Induk Hadis Enam, karena di dalamnya tidak murni hadis shahih, ada kalanya shahih, hasan, dan dha’if. Pertama kali yang memasukan kitab ke-6 dari buku induk adalah Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi (w. 507 H) dalam bukunya Athraf Al-Kutub As-sittiah,kemudian diikuti oleh ulama-ulama lain.
Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis, sebab pada masa ini ulama hadis telah berhasil memisahkan hadis Nabi SAW dari yang bukan hadis atau dari hadis Nabi dari perkataan sahabat dan fatwanya dan telah berhasil pula mengadakan filterisasi (penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan Nabi, sehingga telah dapat dipisahkan mana hadis yang shahih dan mana yang bukan shahih.
Pada masa ini juga lahir para huffadz dan para pembesar kritikus hadis sekalipun menghadapi fitnah dan ujian (mihnah) dari kaum Mu’tazilah seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Abu Zar’ah, dan lain-lain. Untuk menjawab tantangan dari ahli Kalam yang menyerang matan dan sanad hadis dengan cercaan bahwa hadis tidak layak dijadikan hujah dalam Islam, karena saling kontra antara satu dengan yang lain. Ibnu Qutaibah (w. 234 H) menulis sebuah buku yang berjudulTa’wil Mukhtalif Al-Hadits sebagai jawabannya. [8]
Sebagaian ulama pada periode ini juga ada yang mengodifikasikan hadis berdasarkan nama periwayatan para sahabat yang diperolehnya yang disebut dengan bentuk Musnad, seperti :
Ø    Musnad Abu Dawud, Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi (w. 204 H);
Ø    Musnad Abu Bakar, Abdulah bin Az-Zubair Al-Humaidi (w. 219 H);
Ø    Musnad Al-Imam ahmad bin Hanbal (w. 211 H);
Ø    Musnad Abu Bakar, Ahmad bin Amar Al-Bazzar (w. 292 H);
Ø    Musand Abi Ya’la, Ahmad bin Ali Al-Mutsanna Al-Mushili (w. 307 H).

Perkembangan pembukuan hadis pada periode tabi’in ada 3 bentuk, yaitu sebagai bertikut :
1.                  Musnad, yaitu menghimpunsemua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau topiknya, tidak per bab seperti fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih, hasan dan dha’if. Misalnya semua hadis Nabi yang diperoleh seorang periwayat melalui Abu Hurairah dikelompokkan pada bab hadis-hadis Abu Hurairah, hadis-hadis yang didapatkan seorang periwayat dari seorang sahabat Abdullah bin Abbas misalnya, dikelompokkan pada bab hadis-hadis Abdullah bin Abbas, dan seterusnya. Kitab hadis yang disusun secara musnad ini misalnya, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) dan Musnad Ahmad bin Rahawaih (161-238 H).
2.                  Al-Jami’, yaitu tenik pembukuan hadis yang mengakumulasikan sembilan masalah, yaitu,aqa’id, hukum, perbudakan (riqaq), adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah. Sifat-sifat akhlak (syama’il), fitnah (fitan), dan sejarah (manaqib). Misalnya kitab Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahih li Muslim, dan Jami’ At-Tirmidzi. Kualitas KitabAl-Bukhari dan Muslim shahih semua sebagaimana nama kitab yang menyebutkan kataAsh-Shahih, sedangkan kitab At-Tirmidzi sama dengan kitab Sunan ada yang shahih, hasan, dan dha’if.
3.                  Sunan, teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fiqih, setiap bab memuat beberapa hadis dalam satu topik, seperti Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan Abu Dawud. Di dalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dan dha’if, tetapi tidak terlalu dha’if seperti hadis Munkar.[9]

C.    Pusat Pusat Pembinaan Hadis        
Tercatat beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis, yaitu ialah Madinah Al-Munawarah, Mekah Al-Mukaromah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat pembina hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat meriwayatkan hadis cukup banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik,Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, dan Sa’id Al-Khudzri.[10]
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah karena di sinilah Rasulullah SAW. Menetap setelah hijrah. Di sini pula Rasulullah SAW. Membina masyarakat Islam Yang terdiri atas Muhajirin dan Anshar dari berbagai suku atau kabilah, disamping umat non muslim seperti Yahudi yang dilindungi beliau. Para sahabat yang menetap disini, diantara Khulafa Ar- Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah bin Umar,  dan Abu Sa’id Al-Khubair, Inu Syihab Az-Zuhri, Ubaidullah bin Utsbah bin Mas’ud, dan Salim bin Abdullah bin Umar.
Di antara para sahabat yang membina hadis di Mekah tercantum nama-nama, seperti Mu’adz bin Jabal, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman bin Thalhah, dan Uqbah bin Al-Haris. Diantara para tabi’in yang muncul dari sini, tercatat nama-nama, seperti Mujahid bin Jabal Ata’ bin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan, Ikrimah maula Ibnu Abbas.
Di antara para sahabat yang membina hadis di Kufah ialah Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud. Di antara para tabi’in yang muncul disini ialah Ar-rabi’ bin Qasim, Kamal bin Zaid An-Nakha’i, Said bin Zubair Al-Asadi, Amir bin Sarahil Asy-Sya’ibi, Ibrahim Ankha’i dan Abu Ishak As-Sa’bi.
Di antara para sahabat yang membina hadis di Basrah ialah Amr bin Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain, ma’qal bin Yasar, abdurrahman bin Samrah, dan Abu Sa’id Al-Anshari. Diantara tabi’in yang muncul disini ialah Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Ayub As-Sakhyatani, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Aun, Khatadah bin Du’amah As-Sudusi, dan Hisyam bin Hasan.[11]
Di antara para sahabat yang membina hadis di Syam ialah Abu Ubaidah Al-Jarh, Bilal bin Rabah, Ubadah bin Shamit, Mu’adz bin jabal, Sa’ad bin Ubadah, Abu Darda Surahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid dan Iyad bin Ghanan. Para tabi’in yang muncul di sini, diantaranya ialah Salim bin Abdillah Al-Muharibi, Abu Idris Al-Khaulani, Abu Sulaiman Ad-Darani, danUmair bin Hana’i.
Para sahabat yang membina hadis di Mesir, di antaranya ialah Amr bin Al-As, Uqbah bin Amr, Kharijah bin Huzafah, dan Abdullah bin Al-Haris. Para tabi’in yang muncul disini, diantaranya ialah Amr bin Al-Haris, Khair bin Nu’aimi Al-Hadrami, Yazid bin Abi Habib, Abdullah bin Abi Jafar, dan Abudullah bin Sulaiman Ath-Thawil.[12]
Di Magrib dan Andalas, para sahabat yang terjun dalam penyampaian hadis, di antaranya Mas’ud bin Al-Aswad Al-Balwi, Bilal bin Haris bin Asim Al-Muzani, Salamah bin Al-Akwa, dan Walid bin Uqbah bin Abi Muid. Kemudian para tabi’in yang muncul di sini ialah Zayad bin An-Am Al-Mu’afil, Abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur,
Al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifa’ah bin Ra’fi, dan Muslim bin Yasar.
Para sahabat yang terjun dalam penyampaian hadis di Yaman, antara lain Muadz bin Jabal dan Abu Musa Al-Asy’ari. Kedua orang sahabat ini telah dikirim kedaerah ini sejak Rasulullah SAW, masih hidup. Para tabi’in yang muncul disini, di antaranya ialah Haman bin Munabah dan Wahab bin Munabah, Tawus dan Mamar bin Rasid. Kemudian di Khurasan para sahabat yang terjun dalam penyampaian hadis, antara lain Buraidah bin Husai Al-Aslami dan Al-Hakam bin Amir Al-Gifari, Abdullah bin Qasim Al-Aslami, dan Qasm bin Al-Abas. Para tabi’innya ialah Muhammad bin Ziyad, Muhammad bin Sabit Al-Anshari, ali bin Sabit Al-Anshari, dan Yahya bin Sabih Al-Mugri.[13]






Smeer, B Zeid.2008.Ulumul Hadis.Cet.1.Malang : UIN-Malang Press.
Khon, Abdul Majid.2012.Ulumul Hadis.Ed.2.Jakarta:Imprint Bumi Aksara.
Mudasir .1999.Ilmu Hadis.Cet.1.Bandung:Pustaka Setia.
                                                                                                                                                                          




[1]Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis, (Jakarta: Imprint Bumi Aksara,2012),hal.59


[2] Ibid., hal. 60


[3] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis, (Malang Press,2008) hal. 25


[4] Ibid., hal 26


[5]Ibid., hal 27


[6] Ibid., hal 28


[7]Ibid., hal 62


[8]Ibid., hal 64


[9] Ibid., hal 65


[10] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung, Pustaka Setia,1999), hal 101


[11] Ibid., hal 102


[12] Ibid., hal 103


[13]Ibid., hal 109








Hadis Pada Masa Tabi’in Sebagaimana para sahabat, para tabi‟in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadis. Hanya saja beban mereka tidak terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Qur‟an sudak dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode khulafa al-Rasyidin (pada masa Usman ibn Affan) para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi‟in untuk mempelajari hadis-hadis dari mereka. Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Makkah, Madinah, Bashrah, Syam, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam itu, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, yang berarti juga meningkatnya penyebaran hadis. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis.78 Hadis-hadis yang diterima oleh para tabi‟in ini seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer atau terlupakan.79 Sebagaimana para sahabat dikalangan tabi‟in juga melakukan dua hal, yaitu menghafal dan menulis hadis. Banyak riwayat yang menunjukkan, betapa mereka memperhatikan kedua hal ini. Tentang menghafal hadis, para ulama tabi‟in seperti, Ibn Abi Laila, Abu al-Aliyah, Ibn Syihab az-Zuhri, Urwah ibn az-Zubair, dan alQalamah, adalah diantara tokoh-tokoh terkemuka yang sangat menekankan pentingnya menghafal hadis-hadis secara terus menerus. Kata az-Zuhri sebagaimana dikatakan al-Auza‟i : “hilanglah ilmu itu karena lupa dan tidak mau mengingat-ingat atau menghafalnya”. Kata Alqalamah, sebagaimana dikatakan Ibrahim, bahwa dengan menghafal hadis, hadis-hadis akan terpelihara.80

78 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 61. 79Ibid., h. 62. 80 Al-Darimi, op. cit., jilid I, h. 147 dan 150.

Tentang menulis hadis, di samping melakukan hafalan secara teratur, di antara mereka juga menulis sebagian hadis-hadis yang diterimanya. Selain itu, mereka juga memiliki catatan-catatan atau surat-surat yang mereka terima langsung dari para sahabat sebagai gurunya. 81 Hadis pada masa Tabi’i al-Tabi’in. Masa tabi‟i al-tabi‟in dimulai dengan berakhirnya masa tabi‟in, dan tabi‟in terakhir adalah tabi‟in yang bertemu dengan sahabat yang meninggal paling akhir.82 An-Naisaburi menyatakan bahwa tabi‟in yang terakhir adalah yang bertemu dengan Anas ibn Malik di Basrah, dengan Abdullah ibn Abi Aufa di Kufah, dengan al-Sa‟ib ibn Yazid di Madinah, dengan Abdullah ibn Haris ibn Jauz di Mesir, dengan Abu Umamah al-Bakili di Syam,83 dan Abu Thufail Amir ibn Wailah al-Laisi.84 Sedangkam menurut „Ajjaj al-Khatibi bahwa akhir masa tabi‟in yang merupakan awal masa tabi‟i al-tabi‟in adalah tahun 150 H.85 pendapat ini berbeda dengan pendapat Subhi al-Shalih yang menyatakan bahwa akhir dari masa tabi‟in adalah tahun 181 H, bersamaan dengan meninggalnya Khalaf ibn Khalifah. Ia adalah tabi‟in yang terakhir karena ia adalah tabi‟in yang bertemu dengan sahabat yang terakhir kali meninggal, yaitu Abu Thufail Amir ibn Wailah.86 Adapun mengenai akhir masa tabi at-tabi‟in para ulama bersepakat yaitu pada tahun 220 H.87 Cara periwayatan hadis pada tabi al-tabi‟in adalah bi al-lafzi, yaitu dengan lafaz, karena kodifikasi hadis dimulai pada akhir masa tabi‟in.88 kodifikasi pada masa ini telah menggunakan metode yang sistematis, yakni dengan mengelompokkan hadis-hadis yang ada sesuai dengan bidang bahasan masingmasing, walaupun masih bercampur antara hadis Nabi dengan qaul sahabat dan tabi‟in. sebagaimana terdapat dalam al-Muwattha‟ Imam Malik.89 Baru pada awal abad kedua hijriyah, dalam kodifikasinya, hadis sudah dipisahkan dari qaul sahabat dan tabi‟in seperti Musnad Abu Dawud at-Thayalisi (204 H).90 Selain dengan riwayah bi al-lafzi salah satu system penerimaan dan periwayatan hadis yang muncul pada masa ini adalah system “isnad”. Maraknya pemalsuan hadis pada akhir masa tabi‟in dan berlanjut pada masa sesudahnya telah mendorong para ulama untuk meneliti keotentikan hadis yang salah satu caranya


81 Utang Ranuwijaya, Op. Cit,h. 65. 82 Subhi as-Shalih, op. cit., h. 357. 83Ibid., h. 42 84Ibid., h. 43. Lihat juga al-Suyuti, op.cit., h. 228. 85 M „Ajjaj al-Khatibi, op.cit, h. 411. 86 Subhi al-Shalih, op.cit., h. 357 87Ibid., h. 358. M. Ajjaj al-Khatibi, op.cit., h. 411. 88 Muhammad Muhammad Abu Zahwi, op.cit., h. 200 ---90 Subhi as-Shalih, op.cit., h. 48

adalah dengan meneliti perawi-perawinya. Dari penelitian terhadap perawi hadis inilah kemudian muncul sisitem “isnad” sebagaimana yang kita kenal saat ini. Akan tetapi, menurut Abu Zahrah, sanad yang disampaikan pada masa tabi altabi‟in tidak selalu bersambung kepada Rasulullah. Sehingga tabi‟in sering menyampaikan sebuah hadis dengan tidak menyebut sahabat yang meriwayatkannya.91 Kodifikasi Hadis Secara Resmi Kodifikasi atau tadwin hadis, artinya adalah pencatatan, penulisan, dan pembukuan hadis. Secara individual, seperti diuraikan dalam pembahasan di atas, pencatatan telah dilakukan oleh para sahabat sejak jaman Rasul saw. Akan tetapi yang dimaksud dalam pembahasan disini, ialah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam permasalah ini. Bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Ada suatu dilema seputar penulisan dan pembukuan hadis, yaitu adanya suatu larangan penulisan dari Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri : “Janganlah kamu sekalian menulis apa yang kamu dengar dariku selain dari al-Qur‟an, maka hapuskanlah”.92 Hadis ini memberikan gambaran kekhawatiran Rasulullah akan penulisan hadis, karena akan terjadi suatu percampuran dengan al-Qur‟an. Pada kesempatan lain ada riwayat yang menyatakan bahwa Rasul mengizinkan para sahabat untuk menulis hadis, sebagaimana sabdanya : “Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran.”93 Kebijakan Nabi tersebut telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama bahkan para sahabat, tentang boleh tidaknya penulisan hadis.94 Tetapi dalam sejarah ternyata banyak para sahabat yang menulis hadis sebagai catatan pribadi, seperti Abdullah ibn Amr Ibn Ash yang terkenal dengan nama alSahifah al-Sadiqah.95 Menurut Ahmad Amin larangan menulis hadis hanya ketika turunnya ayat-ayat al-Qur‟an, karena dikhawatirkan bercampur dengan al-Qur‟an.96 Dengan demikian boleh menulis hadis dikala kekhawatiran itu hilang. Pada sisi lain, manakala situasi mengizinkan, terutama ketika Islam tersebar luas, wilayah semakin melebar, bid‟ah menjadi-jadi, sahabat tersebar ke berbagai wilayah, banyaknya sahabat yang gugur dalam peperangan, melemahnya daya hafal sahabat, pada kondisi seperti inilah, khalifah Umar ibn Abdul Aziz ,memiliki gagasan untuk membukukan hadis.97

91 Muhammad Abu Zahra, op.cit., juz. II, h. 43. 92 Imam al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), juz. 17-18, h. 129. 93 Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, t.t.), juz. I, h. 168. 94 Ibnu Abdul Barr, Jami al-Bayan Ilm wa Fadilah, (Beirut: dar al-Fikri, t.t.), juz I, h. 66. 95 Al-Hasani Abd al-Majid Hasyim, Ushul al-Hadis al-Nabawi, (Kairo: al-Qahirah alHadisah Li al-Thaba‟ah, t.t.), h. 15. 96 Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1969), h. 67.
 

This post have 0 comments

Next article Next Post
Previous article Previous Post