Revitalisasi masjid ke
fungsinya yang lebih luas
Oleh: Andi Prayoga ( Mahasiswa STEBANK)
Hampir kebanyakan masyarakat mendefinisikan atau
memahami masjid hanya sebagai tempat beribadah saja. Sebetulnya pemahaman
seperti ini tidak sepenuhnya salah, karena realita empirisnya, kita bisa
melihat banyak masjid digunakan sebagai tempat umat muslim melakukan ibadah.
Tetapi kalau melihat historis “masjid” pada zaman klasik islam, tentu
pendefinisian masjid hanya sebagai tempat ibadah belaka merupakan definisi yang
sangat sempit dan kekurangan makna. Pasalnya, oleh nabi Muhammad sendiri pada
waktu itu, memfugsikan masjid tidak saja sebagai pusat ibadat melainkan juga
sebagai pusat peradaban umat manusia. Berkaitan dengan ini, seorang pemikir
islam, Nur Kholis Majid, dalam bukunya “kaki langit peradaban islam” berpendapat
bahwa, “sebuah masjid tidak cukup hanya sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan
ibadat semata (shalat, misalnya), melainkan diarahkan kepada fungsi yang lebih
luas lagi.” Mungkin, Nur Kholis Majid berpendapat seperti ini, pasti karena ia
mengetahui sejarahnya, bagimana sebenarnya masjid difungsikan pada zaman klasik
islam.
Sejarah memang telah menceritakan kepada manusia
bahwa, nabi Muhammad setelah hijrah dari Mekah ke Madinah kemudian langsung
membangun masjid yang bernama “Nabawi” dan beliau pun kemudian menggunakan dan
memfungsikannya untuk seluruh kegiatan, dari mulai peribadatan, pengajaran,
latihan militer, diplomasi, tempat musyawarah semacam majelis atau (MPR)
sekarang ini. Dari penggunaan masjid
yang dicontohkan oleh pahlawan revolusi sekaligus seorang politisi islam itu,
tergambarkan difikiran kita bahwa masjid sangat luas dan banyak kegunaannya,
bukan saja solat, tetapi politik juga, sehingga sangat pantas kalau dikatakan, “masjid
adalah pusat peradaban”. Dengan demikian jelasnya, barangkali muncul
pertanyaan, apakah masjid-masjid sekarang sudah menjadi pusat peradaban? Tentu
saja jawabannya belum. Dan realita ini adalah paradoks
Realitas kegunaan
Masjid
Bukan
saja di Indonesia. Tetapi ada juga beberapa negara yang ingin mengembalikan
peran dan fungsi masjid seperti pada zamannya nabi Muhammad. Seperti di Barat,
Washington DC, yaitu kota yang pertama kali membangun masjid. Umat muslim
disana juga menggagas ide terkait revitalisasi masjid seperti masjid pada zamannya
nabi Muhammad. Sehingga terkenal ide mereka yang disebut “Islamic Center” yaitu gagasan tentang masjid sebagai pusat
peradaban. Adanya keinginan masyarakat, baik di Indonesia maupun luar negri
yang ingin mengembalikan masjid sebagai pusat peradaban, mengindikasikan bahwa
selama ini masjid masih sangat minim dari fungsi dan perannya yang
sesungguhnya. Kalau diadakan survei
mengenai daerah masyarakat yang menjadikan masjid sebagai pusat peradaban,
seperti yang dilakukan oleh nabi Muhammad dan pengikutnya pada waktu itu, maka,
tentu hasilnya sedikit, atau mungkin tidak ada. Ini merupakan realitas yang
bisa dilihat dan dirasakan umat muslim dimana pun terkait minimnya fungsi
masjid saat ini.
Masjid: Revitalisasi
ke-Multifungsinya
Tidak
sedikit pintu masjid ditutup atau gerbangnya (bagi masjid yang bepagar), dengan
alasan menjaga keamanan. Tidak sedikit juga masjid yang membuat larangan yang
“aneh-aneh”, seperti larangan untuk tidur, padahal dalam islam dibolehkan
seseorang yang tidur di masjid dengan alasaan: pertama, butuh untuk istirahat
karena dalam perjalanan. Kedua, orang miskin yang tidak punya tempat tinggal.
Dan ketiga, untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti pelajar/mahasiswa:
mengerjakan tugas, belajar, diskusi dan lain sebagainya. Bagi masyarakat
setempat, tentu masjidnya bisa dijadikan sebagai tempat bermusyawarah-mufakat
dalam perbaikan mayarakat daerah kearah yang lebih baik, maju dan berkembang
kedepannya.
Oleh
karena itu, guna menjadikan masjid sebagai pusat perdaban yang jauh lebih
bermanfaat bagi masjidnya sendiri dan juga masyarakatnya, ada beberapa hal yang
perlu direhabilitasi:
Pertama, kemaanfaatan
masjid harus terbuka untuk umum tanpa memandang kegiatan apa yang mau dilakukan
didalamnya, dengan syarat kegiatan positif yang bermanfaat bagi perkembangan
masjid maupun masyarkatnya.
Kedua, disamping
menjadi tempat ibadat, masjid juga harus menjadi tempat perekonomian. Seperti
usaha dan dagangan yang mendapatkan nilai rupiah. Kemudian hasil usaha dan
dagangannya juga bisa dimanfaatkan kepada pembangunan masjidnya juga
masyarakatnya, terutama fakir-miskin. Kalau perlu, juga bisa digunakan untuk
bayaran honor penceramah.
Ketiga, takmir
(pengurus) masjid harus sering mangadakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat
bagi perkembangan masjid dan masyarakat.
Keempat, sebisa
mungkin, takmir atau pengurus masjid mengundang penceramah atau pemateri yang
canggih-canggih. Kualifikasi canggih adalah berkualitas bagus, kapasitas dan
kapabilitas yang mumpuni.
Kelima, jadikan
masjid sebagai tempat pemberdayaan manusia: menampung orang fakir dan miskin, merangkul anak-anak yang tidak
bersekolah untuk kemudian dididik ilmu agama maupun dunia.
Dari
kelima solusi tersebut, jika terlaksana, maka tentu masjid sangat bermaanfaat
bagi masyarakatnya. Karena percuma masjidnya berdiri tegak dan kokoh sedangkan
disekitarnya masih banyak orang miskin yang tak punya tempat tinggal dan
anak-anak yang tak terdidik. Karena sesungguhnya islam yang “kafah” bukan hanya
yang berhubungan dengan Tuhan, akan tetapi saat bersamaaan juga harus
berhubungaan dengan lingkungaan dan masyarakat sosial.
“Yakin Usaha Sampai”
This post have 0 comments